Achmad bin Talim, Montir Pesawat Hebat yang Pernah Dimiliki TNI AU

0

Mengulik ketokohan seseorang dalam perjalanan sejarah Bangsa Indonesia, ibarat menggali lubang. Semakin dalam digali semakin banyak dan jernih airnya. Karena itu, menjadi tanggung jawab generasi sekarang untuk terus menggali dan menggali.

Tanggal 26 Oktober 2017 ini menjadi hari besar bagi Komando Pemeliharaan Materiil TNI Angkatan Udara. Karena pada tanggal ini, 26 Oktober 1945, berhasil dilaksanakan perbaikan untuk kemudian diterbangkan tiga pesawat Cureng berbendera merah putih di Maguwo oleh Komodor Agustinus Adisutjipto.

Saat itu, teknisi Basyir Surya menjadi tokoh yang paling menentukan dalam proses perbaikan ini.

Tokoh lainnya terkait urusan teknis pesawat yang paling banyak sumbangsihnya bagi AURI, adalah Achmad bin Talim.

Pria kelahiran Bandung tahun 1910 ini banyak meninggalkan cerita, seperti dikutip Majalah Angkasa No.3 Desember 1990. Tulisan yang menggugah itu disarikan oleh Dudi Sudibyo dari pertemuannya dengan Achmad pada tahun 1981. Berikut kisahnya.

Almarhum Achmad bin Talim tidak pernah bermimpi hasil buah tangannya yang terampil akan menjadi topik pemberitaan koran-koran di Belanda dan Inggris. Tidak pula terpikir olehnya, pesawat rancangan Walraven yang dibentuk oleh tangannya bersama beberapa rekannya, akan melanglang buana sampai daratan China.

Pikiran semacam itu memang jauh dari daya khayal orang sederhana berambut serba putih, 71 tahun (saat diwawancarai) dan gemar bercangklong ini.

Kesederhanaannya pun tercermin dari rumah di Jalan Cemara 57, Bandung, ketika ditemui November 1981.

Di ruang tamunya hanya ada sebuah buffet kecil, di atasnya ada TV kecil hitam putih, sebuah foto pemandangan dan kalender PT Nurtanio. Itu saja. Seakan-akan memantulkan kesederhanaan orangnya.

Pikiran sederhana dan praktisnya sebagai salah seorang perintis dunia penerbangan Indonesia, tercermin pula melalui pemecahan masalahnya.

Ambil contoh sewaktu ia aktif di Lipnur (Lembaga Industri Penerbangan Nurtanio). Saat para ahli sibuk menggambar bentuk bulat badan pesawat untuk mencari ukuran yang tepat, Achmad dengan praktis mengambil kawat lalu membuat lingkaran dan mengatakan, “Kieu ukurannya.”

Ajaibnya, memang itulah ukuran yang dicari para ahli.

“Pak Achmad? He is a very talented craftman,” ujar Dirut Garuda Wiweko Soepono tentang bekas anak buahnya di AURI ini.

“Sulit dicari duanya. Apa yang dia buat sudah merupakan semacam hasil kerajinan, craftsmanship. Kita sekarang tidak hanya memerlukan pengalihan teknologi saja, tapi juga memerlukan orang-orang yang menghayati pekerjaannya,” urai Wiweko ketika itu.

Awal November 1981 itu, Achmad bin Talim sedang sibuk bersama Kosim, Idi Bardi, dan Anang membuat replika pesawat RI-X, pesawat rancangan Wiweko Soepono tahun 1946, yaitu pesawat pertama buatan Indonesia setelah Merdeka.

Pesawat aslinya bermesin Harley Davidson 1928, kebetulan juga dibentuk oleh sentuhan tangan Achmad yang terampil itu.

Wiweko sendiri tidak melupakan bekas anak buahnya yang satu ini. Tahun 1974, Achmad diberinya tiket untuk terbang ke Belanda bertamasya. Itulah untuk pertama kalinya Achmad menikmati terbang ke luar negeri.

Padahal 37 tahun sebelumnya, pesawat buatannya sendiri yaitu Walraven-2 PK-KKH sudah mendahului sampai di Eropa.

Dibayar 60 sen

Tentang pesawat Walraven-2, Achmad bin Talim punya cerita.

“Waktu itu ada semacam klub terbang atau kalau sekarang namanya FASI. Salah seorang anggotanya adalah Khouw Khe Hien, pedagang leveransir daging dan roti,” kenangnya.

Dia merencanakan membuat pesawat sendiri. Bersama kenalannya orang Belanda, khususnya dari LA (Luchtvaart Afdelingen), hal itu dibicarakannya.

Di antara kepulan asap cangklongnya, Achmad meneruskan ceritanya bahwa seorang anggota sipil LA, L.W. Walraven bersama Kapten M.P. Pattist merancang gambarnya. Gambar selesai dibuat, lalu siapa yang harus mewujudkannya?

Walraven yang sudah kenal Achmad, memilih anak muda lulusan sekolah teknik tahun 1926 itu. Anak muda itu dikenalnya aktif  di LA, dan karena terampil dicomot oleh seorang teknisi pabrik pesawat bernama Fokker dan ditempatkan di bagian perbaikan pesawat.

Dari tempat itulah bakat Achmad berkembang sejak mulai memperbaiki dan membuat stabilo serta ekor pesawat, sampai memperbaiki mesin pesawat.

Achmad dan beberapa temannya merampungkan pesawat berbadan kayu ini dalam enam bulan, termasuk memasang kedua mesin Pobyo 90 PK. Dia tidak menemui kesulitan karena bahan bakunya tersedia. Seperti tripleks, plat, skrup, kawat dan sebagainya.

“Saya tidak tahu dari mana, tapi mungkin saja orang-orang Belanda itu ada yang nakal. Belanda nyuri Belanda, mengambil dari gudang-gudang LA di Andir,” kenangnya.

Pesawat Walraven-2 terbukti instrumen kokpitnya sederhana sekali. Hanya ada jarum penunjuk kecepatan, altimeter, temperatur, kompas, dan penunjuk bahan bakar. Tapi dengan keterbatasan instrumen ini, pesawat rangka kayu itu berhasil terbang ke Eropa dan China.

Sebagai imbalan tenaganya, dari Khouw Khe Hien, Achmad mendapat imbalan 60 sen setiap hari. Gajinya di LA waktu itu adalah 1 gulden 25 sen. Satu liter bahan bakar saat itu harganya 15 sen.

Akhirnya tiba saat percobaan terbang yang dilakukan di Andir oleh Kapten C. Terluin. Achmad tidak ingat tanggal percobaan itu, yang sebetunya merupakan saat bersejarah.

Karena hari itulah sesungguhnya pesawat pertama made in Indonesia (sebelum merdeka) mengudara. Yang pasti diingatnya hanya tahun 1935.

Terluin melakukan uji coba terbang terus menerus selama satu minggu. Hasilnya ternyata baik sekali. Achmad ketika itu mungkin tak begitu menyadari bahwa dari tangan-tangan orang Indonesia yang masih terjajah, telah dihasilkan sebuah pesawat yang betul-betul bisa terbang.

Bukan itu saja, pesawat ini bahkan oleh Terluin diterbangkan ke Belanda dan Inggris dengan penuh kesuksesan.

“Bayangkan pesawat dari kayu itu sampai ke Belanda dan Inggris segala. Tak tahu berapa kecepatannya, tapi yang terbang untuk sampai ke sana butuh waktu 20 hari,” tambah Soemarsono.

Soemarsono merupakan penerbang dan pembuat helikopter berlengan satu di rumahnya di Jalan Kurawa, Bandung. Rumahnya diubah menjadi bengkel tempat Achmad dan teman-temannya membuat replika RI-X.

Selain dikenal sebagai satu-satunya perancang helikopter Indonesia, Soemarsono juga dikenal sebagai pilot helikopter kepresidenan di masa Bung Karno.

Mengenai berapa besar dana untuk membuat Walraven-2, tidak ada data jelas. Tapi Walraven-2 PK-KKH ditaksir harganya sekitar 5.000 gulden.

Mobil sedang Buick yang besar waktu itu sudah seharga 3.000 gulden. Itulah patokan yang bisa diberikan Achmad.

Yang diingat jelas Achmad, Khouw Khe Hien tewas bersama Kepala Staf Umum Tentara Hindia Belanda, Jenderal GJ Berenschot dalam kecelakaan pesawat bomber di Cililitan.

Jadi ballast

Setelah proyek Walraven-2, Achmad masih menangani pembuatan pesawat lainnya termasuk yang dibiayai Kapten Pattist. Pesawat berjenis pusher PW (Pattist-Walraven) ini dibuat tahun 1928.

Mesinnya dipasang di atas kepala, menghadap ke belakang. Pesawat ini juga berhasil terbang baik, diuji coba oleh Letnan J.A.J. Oonicx yang menurut ingatan Achmad, orangnya agak ngoboi kalau terbang.

Namun Achmad bin Talim tidak pernah tahu akan nasib pesawat-pesawat yang pernah dibuatnya. Dia sendiri, anehnya, tak begitu suka terbang.

Achmad hanya terbang kalau disuruh dan tugasnya di udara pun waktu itu bukan sekadar penumpang tapi sebagai ballast, penyeimbang pesawat.

Jadi dia tidak bayar, malah dibayar 1 gulden 20 sen untuk setiap terbang. “Yang pernah saya naiki antara lain pesawat Glenn Martin, tapi ini tak enak. Juga pesawat pemburu Fokker, Lockheed-12 dan bomber Jepang,” ujarnya.

Dari sekian pengalaman membuat pesawat, mulai dari pesawat capung, pesawat pemburu sampai ke jenis pembom Blenheim. Kemudian ia turut membuat RI-X, Belalang, Sikumbang, Kunang-kunang, dan beberapa hasil produksi Lipnur setelah Merdeka.

Namun dari semua pengalaman itu, yang paling mengesankan bagi Achmad justru sewaktu ia harus membangun kembali pembom B-17 Flyingfortress oleh pihak Jepang.

Memang tidak kalah mengesankan menurutnya, ketika harus merakit pembom Blenheim di Cilacap. Blenheim yang dikapalkan ke Indonesia semula untuk memperkuat tentara Hindia Belanda dalam menahan arus serangan Jepang. Namun sewaktu kapal merapat di dermaga Cilacap, Panglima Belanda Jenderal Ter Poorten keburu angkat bendera putih di Bandung.

Tawanan Belanda disuruh menurunkan potongan pesawat ke darat. Di pantai, Achmad bersama teman-temannya disuruh merakitnya menjadi pembom Blenheim utuh.

“Begitu selesai langsung diterbangkan ke Tokyo,” katanya mengingat peristiwa Cilacap.

“Kata orang Jepang, Tenno Heika (kaisar) senang, maka saya diberi persen sebatang rokok untuk jerih payah itu,” tambahnya.

Kenapa B-17 lebih mengesankan?

Tak lain karena jiwa dan raganya digantungkan kepada berhasil tidaknya Achmad membangun kembali bekas pembom B-17 Sekutu yang terdampar di Andir, Bandung.

“Leher saya diancam akan dipotong samurai kalau tidak berhasil,” ujarnya mengenang masa penjajahan.

Flyingfortress itu rusak berat. Badannya penuh lubang dan sayapnya hampir putus. Pesawat ini asalnya dari Singapura, terdampar di Bandung setelah dilarikan dari serbuan Jepang.

Tapi arus balatentara Jepang memang tak tertahan, dan pembom bermesin empat baling-baling yang dijuluki Flyingfortress alias benteng terbang itu pun tak luput dari cipratan bom Jepang tatkala sedang nongkrong di Andir.

Achmad terpaksa berinisiatif menambal pesawat dengan barang apa adanya. Otaknya diputar keras, karena bayangan pedang samurai berkilat sungguh menakutkan.

Selain dia, ada puluhan orang Indonesia juga diancam akan dibunuh kalau tidak berhasil membantu Achmad memperbaiki Flyingfortress.

Akhirnya lubang ditutup dengan plat besi yang tebal dan diikat dengan baut. Begitu rampung, pesawat langsung diterbangkan ke Jepang.

“Pilot Jepang bertubuh pendek, jadi tempat duduknya diganjal pakai kayu,” cerita Achmad mengenang masa itu.

Itulah Achmad bin Talim. Sosok teknisi berbakat yang oleh ayahnya, Talim, dikirim ke sekolah teknik yang kini masih berdiri di Jalan Pajajaran, Bandung.

 

Teks: beny adrian

Share.

About Author

Being a journalist since 1996 specifically in the field of aviation and military

Leave A Reply