Tim Free Fall Sipil Pertama di Indonesia, Ini Sejarah Awalnya Hanya Bermodal Nekat

0

MYLESAT.COM –  Ada dua jenis terjun payung, yaitu terjun statik dan terjun bebas. Pada awal perkembangannya di Indonesia, terjun bebas hanya dikuasai segelintir pasukan khusus. Beruntung mereka yang bisa mengikuti latihan, seperti diungkap Syarif Barmawi kepada mylesat.com. Syarif dilatih menjadi penerjun statik, yaitu penerjun tempur oleh Resimen Para Komando Angkatan Darat (Kopassus) di Pusdik Para Komando Batujajar pada tahun 1966. Berikut kisah sejatinya yang lucu dan menegangkan.

Untuk dapat dinyatakan lulus dan dapat Wing, saya harus terjun sebanyak tujuh kali. Termasuk di antaranya terjun tempur, terjun gunung hutan, dan terjun malam. Saya ingat saat masih ground training, dilaksanakan Wing Day untuk angkatan di atas ku. Saya masuk pendidikan pada 17 Mei 1966 dan selesai pada 16 Juni.

Loh, pelatihku kok nggak ada. Lalu saya bertanya kepada rekan yang lainnya. Lihat Pak Usman tidak, di mana ya beliau? Lalu dijawab, di pesawat, bentar lagi juga turun. Saya mendongakkan kepala dan melihat pesawat angkut DC-3 Dakota sedang membuat pattern untuk terjun. Dakota terbang tinggi sekali.

Tak lama kemudian terlihat para penerjun keluar dari pintu samping pesawat. Mereka melayang-layang bebas dan terlihat begitu indah, seperti sebuah titik di langit. Pasti menyenangkan.

Syarif Barmawi menerima wing terjun. Foto: dok. syarif barmawi

Kemudian saya melihat payung berkembang, payungnya berwarna warni. Wuiiihhh keren banget, hebat sekali terjun segitu tingginya. Tak lama kemudian para penerjun mendarat. Mereka kemudian mendatangi kami untuk melanjutkan pelajaran. Muncul suara di hatiku, ingin seperti mereka, kalau bisa, kalau ada kesempatan.

Alhamdulillah, saya lulus meski saat pendidikan sempat hampir nyangkut di roda belakang pesawat pada saat terjun tempur. Untung bisa lepas, kalau nggak, saya mati.

Saya terpilih ikut Wing Day yaitu hari penyematan wing di dada kiri menandai selesainya pendidikan. Upacara dihadiri keluarga siswa. Saya sendirian, hanya minta dia datang untuk menyematkan wing (Poppy pasti senyum).

Di masa itu terjun refressing sangat lah jarang bisa dilakukan. Selepas pendidikan, saya selalu mencari kesempatan untuk bisa terjun lagi. Lumayan, selama lima tahun bisa dapat kesempatan enam kali terjun.

Perjuangan saya mencari kesempatan terjun bebas lumayan berat. Sempat-sempatnya saya berpikir akan menerima tantangan melipat payung free fall, kemudian naik ke pesawat untuk terjun. Saya berani. Namun kesempatan itu tidak pernah datang. Saat itu terjun bebas masih didominasi oleh kelompok kecil Pasukan Khusus, terjun tinggi untuk melakukan penyusupan melalui udara.

Jadi hanya bagi prajurit-prajurit terpilih saja yang bisa melakukannya dengan bebas. Kami punya mimpi, suatu hari terjun payung bisa menjadi olah raga.

Hari itu, awal Maret 1972, saya ikut rapat bersama teman-teman dari ITB di rumah Adnan Mokodompit di Jalan Dago. Dalam pertemuan itu disampaikan bahwa akan ada Kejuaraan Nasional Terjun Payung baik baik terjun statik maupun terjun bebas.

Disepakati dalam rapat itu bahwa kita juga akan ikut Kejurnas Terjun Bebas. Padahal tidak ada seorangpun peterjun bebas di antara kami ha ha ha. Lalu muncul pertanyaan, siapa yang akan mengikuti Kejurnas ini?Siapakah orang gila di antara kami?

Pimpinan rapat, Jhony Saleh berkata, sudah lah gini aja, biar adil maka ITB kirim dua orang dan Unpad dua orang. Deal ya.

Otak bengal dan nipu

Maka terbentuklah tim terjun bebas yang mengatasnamakan Jawa Barat. Mereka terdiri dari Arifin Panigoro, Eddy Bowo, Priatna Kusumah, dan saya sendiri Syarif Barmawi. Tapi baru saja tim terbentuk, kami langsung kaget karena parasut free fall dan kelengkapannya tidak ada yang punya. Terjun bebas pun belum pernah. Latihan untuk free fall juga siapa yang mau melatih.

Pertanyaan lain muncul, bagaimana caranya bisa mengikuti Kejurnas? Rasanya putus asa.

Otak bengal mulai bicara. Ketua rapat bilang, kita nipu aja. Bilang saja bahwa keempat atlet utusan Jawa Barat ini sudah dilatih di luar negeri. Dua orang berlatih di Thailand dan dua lagi di Amerika Serikat.

Nah, ini buku tentang sky diving, pelajari aja!

Tim Jabar dalam sebuah Kejurnas. Dari kiri ke kanan: Syarif Barmawi, Dikdik Hasan, Robby Mandagi, Irsan Adanan, dan Prof. Mulyo Widodo (Ketua Aves saat ini). Foto: dok. syarif barmawi

Tim mulai mempelajari sebisa-bisanya. Mengenai pengadaan parasut, menjadi urusan ketua. Hari penerjunan sudah ditentukan yaitu 15 Maret 1972. Akhirnya parasut dan kelengkapannya sudah oke.

Malam sebelum hari penerjunan, saya menemui orang tua di Bandung. “Aya naon Syarif teh,” ujar si bapak.
Saya lalu menyampaikan bahwa saya akan akan mengikuti kejuaraan. Enjing abdi bade terjun bebas. Bapak terdiam sejenak dan bertanya, Iraha latihana?

Numawi henteu Pa, kata saya, yang maksudnya, kalau tidak latihan bagaimana?

Saya menyadari kegelisahan orang tua. Itu sebabnya saya ceritakan keinginan kami, tentang kesempatan yang tidak pernah ada, tentang menipu ngaku sudah dilatih di luar negri dan sebagainya. Sekarang saya bisa membayangkan seperti apa cemasnya perasaan bapak malam itu.

Ari Syarif buleud, bulatkah niatmu. Saya jawab, Insya Allah buleud Pa. Bapak masih berpesan untuk berdoa. Jung sing salamet, ulah hilap ngado’a. Saya mengkhawatirkan ibu, tapi saya tidak sanggup untuk mengutarakannya.

Besok pagi pukul 06.00 Wib, semua sudah berkumpul di Lanud Husein Sastranegara. Kami mellihat tim Kopasgat sedang melakukan pemanasan. Kami say hello dilanjutkan pemanasan.

Tidak lama datang Pak Yusman, mbah terjun bebas TNI AU membawa parasut. Saya bicara perlahan ke Iyat, salah seorang teman. Parasutnya keren, abu-abu. Sementara kami tidak tahu parasutnya seperti apa. Karena diterima sudah terlipat.

Pak Yusman datang lagi membawa alat yang saya belum pernah lihat. Tapi rasanya pernah lihat di buku. Iyat berbisik, naon eta teh Rif. Saya bilang, itu otomat seperti yang ada di buku. Tapi Iyat menyanggah, karena yang di buku tidak seperti itu. Saya bilang, yang di buku buatan Cheko tapi yang ini pasti buatan Inggris. Kebetulan kami pun memakai payung Inggris.

Semua serba bisik-bisik, takut ketahuan kita ini pembohong. Kita tidak ada yang tahu bagaimana mengoperasikan alat itu. Saya pula yang harus bertanya ke Pak Yusman.

Pak Yus, ini nyetelnya bagaimana? Pak Yus sekilas menatap penuh selidik. Saya tetap tenang, seolah berkata, kita biasa pake otomat Cheko, tapi kali ini dikasih alat Inggris sehingga tidak paham. Berikutnya saya bertanya lagi setelah otomat itu distel.

Otomat gunanya apa sih Pak, tanya saya polos. Dijelaskan bahwa otomat akan mengatur pelepasan payung ketika, misalnya, peterjun siswa tidak sadar. Otomat akan otomatis mengembangkan parasut. Alat itu bekerja melalui tekanan udara yang sudah diatur akan bekerja pada ketinggian tertentu.

Pasangnya di mana Pak, tanya saya lagi. Masih berusaha cuek. Tapi itulah pertanyaan tolol namun harus ditanyakan karena memang tidak tahu. Padahal ngaku sudah dilatih di Thailand dan di Amerika.

Pak Yusman memasangkan alat otomat itu, entah apa yang ada di pikirannya. Kami pun memasuki pesawat DC-3 Dakota bersama tim Kopasgat. Pesawat lepas landas menuju ketinggian 4.500 kaki untuk terjun di Margahayu.

Untuk memperlihatkan bahwa kita didikan luar negeri, ketika pesawat menuju ketinggian, saya tidak duduk seperti tim Kopasgat. Saya berdiri di pintu sambil nunjuk-nunjuk apalah ke bawah. Sementara tim Kopasgat memperhatikan kita dengan pandangan bingung. Mungkin mereka kagum, beginilah peterjun bebas sipil hasil didikan luar negri.

Begitu pesawat mencapai ketinggian penerjunan, semua bersiap. Saya yang berdiri di pintu, didatangi jump master yang tak lain dari Pak Yusman.

“Belum pernah terjun bebas ya,” ujarnya tegas. Memang, kalau peterjun senior pasti bisa membaca gerak tubuh seseorang.

“Belum,” jawab saya spontan, tidak bisa berbohong lagi. Pak Yusman merah padam, marah sekali.

“Apa-apaan ini, mau gila-gilaan,” katanya marah. Teman-teman terdiam, tapi saya harus menghadapi murkanya jump master.

Tidak Pak, tidak gila-gilaan, saya sudah enam tahun menunggu kesempatan ini, jawab saya berusaha tegar. Suasana di pesawat menjadi tegang. Tim Kopasgat menatap kami dengan tajam, seperti mau menelan hidup-hidup.

Tolong beri kami kesempatan Pak, pinta saya ke Pak Yusman. Saat itu peterjun bebas hanya dari pasukan khusus. Setahu saya belum ada dari orang sipil. Suasana menegangkan.

Pak Yusman meninggalkan kami, menuju ke arah kokpit. Ia terlihat berbicara dengan Pak Trisnoyuwono yang juga ikut terjun. Entah apa yang mereka bicarakan, kami tegang menunggu. Pak Yusman kembali.

“Betul kamu berani,” katanya kepada saya.

Berani Pa, jawab saya lantang.

“Bisa exit,” katanya lagi dan saya jawab, bisa. Dalam hati saya bilang, apa susahnya loncat dari pesawat. Oke, buka kaki lebar dan dan cabut handle ya,” kata Pak Yusman. Beliau lalu spotting untuk menentukan exit point.

“Buka kaki lebar dan cabut, siaaap … gooo,” teriak Pak Yus lantang.

Syarif Barmawi, anggota Aves Sport Parachute Club dengan nomor anggota 013. Foto: dok. syarif barmawi

Kami keluar dari pesawat dan langsung dihantam angin propeller. Saya tarik handle dan payung terkembang sempurna. Warnanya Merah Putih, saya berteriak Allahu Akbar. Saya lihat parasut Arifin, Eddy Bowo dan Iyat juga terbuka sempurna. Kami mendarat dengan selamat dalam suasana gembira yang meluap.

Momen yang penuh kenangan dan menggugah itu seolah menjadi pintu pembuka free fall sipil di Indonesia setelah penantian selama enam tahun. Hari bersejarah itu terjadi pada 15 Maret 1972.

Empat kali kami terjun seperti itu saking inginnya jadi peterjun bebas. Setelah itu mereka langsung ikut Kejurnas atas nama Tim Jawa Barat. Konyol memang, tapi saat itu hanya itu jalannya.

Di Kejurnas itu saya hampir fatal karena parasut utama trouble. Ketika mencabut parasut cadangan, lagi-lagi trouble dan baru terbuka setelah cukup dekat dengan permukaan Bumi.

Akhirnya memang ketahuan bahwa kami ini penerjun yang berbohong . Mengaku didikan luar negeri padahal belum pernah terjun sama sekali.

Akhirnya mimpi kami terwujud. Setelah melalui proses yang panjang dan melelahkan, terjun payung bisa diterima dan menjadi cabang olah raga yang kelak turut dilombakan di Pekan Olah Raga Nasional.

Tim kecil yang berhasil melaksanakan penerjunan bebas pertama ini, jika boleh ditegaskan, adalah kelompok sipil pertama yang memulai terjun bebas di Indonesia.

Share.

About Author

Being a journalist since 1996 specifically in the field of aviation and military

Leave A Reply