MYLESAT.COM – Hari ini, 22 April 2024, TNI Angkatan Udara menggelar puncak upacara HUT TNI AU ke-78 di Lapangan Dirgantara, Akademi Angkatan Udara (AAU) di Yogyakarta. Sesuatu yang tidak lazim, karena selama ini publik mengetahui upacara HUT TNI AU dilaksanakan di taxiway Echo Lanud Halim Perdanakusuma. Kenapa Yogyakarta jadi pilihan? Bukan Malang, Madiun atau Bandung?
Yogyakarta ternyata bukan hanya “rumah” bagi jutaan warga Indonesia yang selalu melantunkan melodi ingin kembali ke kota gudeg itu. Ya, Yogya memiliki magnet yang sangat luar biasa karena menyajikan begitu banyak pesona. Kekayaan budaya yang ditopang berdirinya Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, telah membentuk ketahanan budaya yang sangat elastis.
Selama puluhan tahun, Yogyakarta telah menjadi hub dalam banyak peristiwa penting di negara ini. Kita bisa membuka catatan sejarah yang tidak akan habis-habisnya menuliskan kata Yogyakarta dalam narasinya.
Namun Yogyakarta tidak hanya “milik” jutaan anak bangsa. Sejarah mencatat, TNI AU pun menjadikan kota pahlawan ini sebagai rahim di mana pasukan pengawal dirgantara Nasional ini dilahirkan. Di kota ini, khususnya di Maguwo, sejarah awal TNI AU banyak tercecer.
Sejarah lahirnya TNI AU berawal dari pembentukan Badan Keamanan Rakyat (BKR) pada 23 Agustus 1945. BKR dibentuk untuk memperkuat Armada Udara yang saat itu sangat kekurangan pesawat dan fasilitas pendukung yang sebelumnya milik Militaire Luchtvaart.
Seiring berjalannya waktu, BKR berubah menjadi TKR (Tentara Keamanan Rakyat) pada 5 Oktober 1945. Di masa TKR ini, Jawatan Penerbangan berada di bawah pimpinan Komodor Udara Soerjadi Soerjadarma. Tak lama kemudian, 23 Januari 1946, TKR diubah menjadi Tentara Republik Indonesia (TRI). TKR Jawatan Penerbangan pun turut berubah menjadi TRI Jawatan Penerbangan.
Pasca Kemerdekaan, TKR Jawatan Penerbangan mengemban utama mempertahankan NKRI yang baru merdeka. Modal utama saat itu hanyalah semangat pengabdian dan jiwa kepeloporan. Alutsista dan fasilitas pendukung sangat lah minim dengan kondisi tidak layak. Sebagian besar peninggalan Jepang dan Belanda.
Namun jiwa kepeloporan sangatlah dominan di hati para pemuda oedara ini. Mereka bergeming dan terus mencari terobosan. Semua fasilitas yang ada dimaksimalkan pun dengan sumber daya manusia yang jauh dari cukup.
Namun para pejuang yang pernah menjadi montir di bengkel pesawat milik tentara Jepang dan Belanda, berkumpul dengan semangat yang sama. Mereka padukan semua pengalaman yang dimiliki untuk menghidupkan kembali beberapa pesawat peninggalan Jepang.
Setelah pesawat-pesawat bekas Jepang seperti Cureng dan Nishikoren berhasil diterbangkan pada akhir 1945, dimulailah pendidikan dan latihan para penerbang serta teknisi di Maguwo. Dalam waktu relatif pendek dan dengan peralatan yang minim, pendidikan dan latihan penerbang ternyata berhasil.
Pada 9 April 1945 TKR Jawatan Penerbangan disyahkan menjadi Tentara Republik Indonesia Angkatan Udara atau TRI Angkatan Udara, sejajar dengan Angkatan lainnya, yang kemudian disempurnakan lagi menjadi Angkatan Udara Republik Indonesia.
Dalam buku “Perjalanan TNI Angkatan Udara dan Pengembangannya Pada Awal Dasawarsa 80-an” (1982), disebutkan bahwa kekuatan AURI saat itu terdiri 102 pesawat dari berbagai jenis. Terdiri dari 10 pembom, 15 pemburu Hayabusa, 11 ppengintai , dan 66 pesawat latih seperti Cureng, Cukiu, dan Nishikoren.
Dengan modal semangat, keberanian, dan jiwa pelopor itulah semua bermula.
Komodor Agustinus Adisutjipto kemudian membentuk Sekolah Penerbang TNI AU pertama pada 15 November 1945 di Maguwo. Keberanian Adisutjipto membentuk Sekbang pertama ini tentu tidak terlepas dari dukungan para teknisi yang meyakinkan bahwa sejumlah pesawat sudah siap diterbangkan.
Baca Juga:
Sejarah mencatat pada 25 Oktober 1945, teknisi Basir Surya yang didatangkan dari Bandung, berhasil memperbaiki dan kemudian menyiapkan pesawat Cureng untuk diterbangkan. Menurut catatan, saat itu Basir Surya yang lahir di Garut pada 17 April 1912 memperbaiki tiga pesawat Cureng sekaligus.
Sehari kemudian, 26 Oktober 1945, Komodor Adisutjipto berhasil menerbangkan pesawat Cureng di atas Maguwo. Momen ini penuh dengan catatan istimewa, karena itulah kali pertama pasca Kemerdekaan pesawat dengan identitas merah putih diterbangkan oleh putra Indonesia.
Pesawat berputar-putar sekitar setengah jam di atas Lanud Maguwo. Peristiwa bersejarah ini dijadikan sebagai dasar lahirnya Koharmatau.
Dua hari kemudian, 28 Oktober 1945, Cureng kembali diterbangkan di atas Alun-alun Utara Yogyakarta dan disaksikan ribuan pasang mata. Pada saat bersamaan tengah berlanggsung Rapat Raksasa dalam rangka Kongres Pemuda Indonesia yang dihadiri Presiden Soekarno dan Sri Sultan Hamengkubowono IX.
Sukses sebagai pesawat latih, Cureng kemudian digunakan untuk latihan terjun payung. Latihan pertama ini dilaksanakan pada 11 Februari 1946 di Maguwo atas perintah Suryadarma.
Latihan terjun payung menggunakan tiga pesawat Cureng masing-masing diterbangkan Adisutjipto, Iswahjudi, dan Makmur Suhodo. Adapun penerjunnya adalah Amir Hamzah, Legino dan Pungut.
Masih dari Pangkalan Udara Maguwo, subuh, 29 Juli 1947, tiga pesawat peninggalan Jepang digunakan untuk menyerang kedudukan Belanda di Ambarawa, Salatiga, dan Semarang. Momen ini menandai operasi serangan udara pertama yang dilakukan TNI AU.
Pesawat Cureng juga diterbangkan oleh Kadet Udara I Aryono untuk membom Purwodadi dalam rangka penumpasan PKI atas permintaan Gubernur Militer Jawa Tengah Kolonel Gatot Subroto.
Kecelakaan pertama pesawat Cureng terjadi 14 Januari 1946. Kemudian pada 2 September 946, Cureng kembali mengalami kecelakaan di Cipatujah (Tasikmalaya) saat pendaratan darurat yang mengakibatkan gugurnya Opsir Udara II Tarsono Rudjito.
Opsir Udara II Tarsono merupakan korban pertama akibat kecelakaan pesawat militer di Indonesi. Dalam rangka tabur bunga atas meninggalnya Tarsono pada 13 September 1946, sebuah pesawat Cureng yang lain diterbangkan untuk melaksanakan tabur bunga dari udara yang diterbangkan oleh Hussein Sastranegara.
Dari Maguwo pula kemudian sejumlah penerbangan penting dilaksanakan. Termasuk mendukung perjalanan dinas Presiden Soekarno ke sejumlah daerah. Sebelum ditembak jatuh pesawat P-40 Kittyhawk Belanda di Maguwo, pesawat Dakota VT-CLA yang membawa misi Palang Merah ke Singapura, diterbangkan dari Maguwo. Pemberangkatan kadet penerbang pertama TNI AU ke India, pun dilakukan dari Maguwo menggunakan pesawat C-47 Dakota RI-001 Seulawah.
Kita tidak akan berhenti mengisahkan betapa Yogyakarta begitu berartinya bagi TNI AU. Sehingga bisa dipahami mengapa Yogyakarta dijadikan tempat pelaksanaan upacara HUT TNI AU ke-78 tahun ini.
Karena semua berawal dari Maguwo (Yogyakarta).