MYLESAT.COM – Pertemuan yang tak terduga. Terakhir mylesat.com bertemu jawara lempar pisau Kopasgat ini awal 2015 di Satbrimob Polda Banten. Ia saat itu melatih personel Brimob. Reuni Kopasgat dalam Operasi Seroja di Dili dan Baucau pada 7 Desember 2021, mempertemukan kami kembali di Bandung.
“Rupanya kita teman lama ya, he he he,” ujar Serma (Pur) Simon tertawa kecil.
Pria berkulit putih berdarah Manado ini memang terlihat lebih banyak diam. Baik saat acara reuni Kopasgat di Pusdiklat Korpaskhas, maupun saat hadir dalam Bina Matra Tradisi Kejuangan Korpaskhas di Bale Gede.

Kiri ke kanan: Simon, Hengky Molana, Dankorpaskhas Marsda TNI Eris Widodo, Marsma (Pur) Nanok Soeratno, dan Marsma (Pur) Mujanto. Foto: beny adrian/ mylesat.com
“Saya sudah tua, 81 tahun,” ujarnya pelan. Usia memang tidak bisa dibohongi, sekalipun bagi seorang prajurit komando.
Namun demikian, Simon yang mempunyai nama keluarga Kandouw ini memutuskan untuk tetap ikut dalam tim kecil 15 purnawirawan Kopasgat guna menghadiri Bina Matra Korpaskhas di Bale Gede.
Karena usianya, suara Simon memang tidak selantang dulu lagi. Saat bertemu di Brimob Banten, Simon masih bisa menegur dan bersuara lantang saat lemparan pisau prajurit dinilainya salah. Sedangkan saat ini, Simon terlihat lebih banyak menghemat tenaganya dengan memilih diam.
Saat Operasi Seroja di Timtim pada 7 Desember 1975, Simon tergabung ke dalam Tim Dallan (Pengendalian Pangkalan) Detasemen B Kopasgat yang diterjunkan di Baucau pada 9 Desember. Detasemen berkekuatan 158 prajurit ini dipimpin oleh Kapten Pas Affendi.
“Dia pengawal saya di Baucau,” aku Peltu (Pur) Christofel Hengky Molana yang duduk di sebelahnya. Kami pun larut dalam kenangan, mendengarkan celetukkan-celetukkan kedua serdadu tua yang kenyang asam garam pertempuran ini.

Serma (Pur) Simon memiliki keahlian khusus dalam lempar pisau. Foto: beny adrian/ mylesat.com
Simon lahir pada 20 September 1940 di Bandung. Ibunya mojang Bandung, sedangkan ayahnya dari Manado. Dikatakan Simon, ia masuk PGT (Pasukan Gerak Tjepat) pada tahun 1960. Saat itu di Bandung terdapat Batalyon III PGT.
Meski menjadi tentara pada masa konfrontasi, Simon tidak sempat diterjunkan dalam Operasi Djajawijaya untuk merebut Irian Barat dari Belanda. “Saya sempat ikut persiapan, namun tidak jadi dikirim karena dimasukkan ke dalam Tjakrabirawa,” ujarnya.
Pada awal 1960, AURI mempunyai pasukan tempur di bawah Komando Pertahanan Pangkalan Angkatan Udara (KOPPAU). KOPPAU berkedudukan di Bandung dan membawahi Resimen PPP di Jakarta dan Resimen PGT di Bandung.
Resimen PPP membawahi lima Batalyon di Jakarta, Banjarmasin, Makassar, Biak, dan Palembang. Sementara Resimen PGT terdiri dari tiga Batalyon, yaitu Batalyon I PGT (merupakan Batalyon III Kawal Kehormatan Resimen Tjakrabirawa) di Bogor, Batalyon II PGT di Jakarta, dan Batalyon III PGT di Bandung.

Serma (Pur) Simon menerima cinderamata dari Dankorpaskhas. Foto: beny adrian/ mylesat.com
Saat di Tjakrabirawa inilah pada 1963, Simon mulai mengenal dan mendalami lempar pisau. Ia mengikuti pelatihan khusus selama tiga bulan.
“Lempar pisau itu hanya ada dua macam, rotary throwing dan setengah lingkaran,” celetuknya lagi pelan. Diakui Simon, lemparan setengah lingkaran sangat sulit dikuasai dan butuh latihan yang lama.
Soal kemampuan lempar pisau ini, pernah diceritakan Simon dalam perjumpaan pertama kami di Brimob Banten. Menurutnya, kemampuan lempar pisau ini ia peroleh dari rekannya anggota Pelopor Brimob yang sama-sama bertugas di Tjakrabirawa.
Namanya Bachtiar, pensiun dengan pangkat Akbp. “Almarhum mendapatkan ilmu itu saat tugas di Pelopor, instrukturnya orang sipil dari Laos,” kenang Simon.

Serma Hengky Molana adalah anggota tim Dallan Kopasgat dalam Operasi Seroja 1975. Foto diambil di pelabuhan Dili. Foto: Dok. mylesat.com
Secara khusus, Simon mengikuti pelatihan dari temannya ini selama tiga bulan. Saat itu Bachtiar mengatakan kepadanya. “Kalau ilmu ini sudah kamu pegang maka seumur hidup tidak akan hilang, karena kamu belajar (berlatih),” tutur Bachtiar ketika itu kepada Simon.
Ternyata benar. Wejangan itu terbukti puluhan tahun kemudian setelah Simon pensiun dari TNI AU. Suatu hari di tahun 2014, ia dipanggil perwira Pusdiklat Korpaskhas yang memintanya untuk melatih lempar pisau siswa Komando.
“Saya pensiunan Paskhas. Apa yang bisa saya berikan untuk merah putih setelah pensiun? Baret saya sekarang merah putih,” ucap Serma (Pur) Simon ketika itu. Namun sekarang karena faktor usia, Simon sama sekali sudah tidak lagi aktif melatih lempar pisau di Pusdiklat Paskhas.
Karena pengalamannya yang begitu luas selama berdinas di Paskhas, Simon juga pernah membantu tim STABO Korps Brimob.

Latihan bersama Handau (Pasukan Pertahanan Darat dan Udara) Malaysia. Terlihat Hengky (ketiga dari kanan). Foto: Dok. mylesat.com
STABO atau (STAbilized BOdy) adalah sebuah teknik evakuasi menggunakan helikopter yang lazim di lingkungan pasukan khusus. Dengan teknik ini, heli tidak perlu mendarat. Pasukan atau korban hanya perlu mengikatkan dirinya ke tali yang diulurkan dari heli.
STABO dikembangkan oleh personel US Army Special Forces saat Perang Vietnam. Waktu itu, kata Simon, istilah STABO mereka ganti menjadi Special Tactical Brigade Operation.
Seperti halnya Simon, Peltu (Pur) Christofel Hengky Molana merupakan sosok purnawirawan yang dikenal luas di lingkungan Paskhas. Baik karena prestasinya maupun penampilannya yang nyentrik.
Kakek bertubuh kecil dan berkumis tebal ini masih terus mengendarai Vespa kesayangannya. Akar bahar melingkar di tangannya yang walau sudah keriput, namun menyisakan bukti kerasnya latihan yang pernah dijalaninya. Tidak ketinggalan, empat batu akik melingkar di jarinya.
Sebagai prajurit baret jingga, Hengky banyak menghabiskan masa penugasannya di Yonko 462 sebagai jumping master.

Serma Hengky Molana dengan atribut Kopasgat. Foto: Dok. mylesat.com
Hengky yang lahir pada 8 April 1946, memutuskan menjadi prajurit PGT tahun 1963. Ia kemudian mengikuti sekolah Komando Kopasgat tahun 1972. “Saya pensiun tahun 1998 dan terakhir di Depodiklat,” katanya.
Sebagai jumping master, beberapa kali Hengky mengikuti latihan dengan negara asing. Seperti dengan Malaysia, Amerika Serikat, dan Australia.
“Saya pernah dinas di Natuna selama enam bulan tahun 1983, tugasnya menangani banjir pengungsi Vietnam ke wilayah Indonesia,” ucapnya.
Sekilas dalam kebersamaan kami di Bale Gede, Hengky menceritakan tentang keluarganya. Hengky yang berasal dari Alor di Provinsi Nusa Tenggara Timur, sempat tinggal di Sintang, Kalimantan Barat.
“Orang tua saya jadi tentara Belanda dan tugas di sana, ibu saya orang Jawa,” ulas Hengky sambil memperlihatkan foto-foto keluarganya.
Namun, kata Hengky, setelah penyerahan kedaulatan Belanda pasca Konferensi Meja Bundar, orang tuanya memilih kembali ke Alor. “Bapak saya ditawarkan ikut ke Belanda, tapi tidak mau, ia lebih milih pulang kampung,” tutur Hengky.

Hengky Molana (kiri), saat mengikuti Latma dengan militer Amerika Serikat. Foto: Dok. mylesat.com
Dengan bangga Hengky lalu memperlihatkan foto dua putranya yang saat ini menjadi perwira TNI AD dan Korps Marinir TNI AL.
Benar apa yang pernah disebutkan Jenderal Douglas MacArthur bahwa, old soldier never die they just fade away.