Akuisisi 42 Rafale dan Pembangunan Air Power Indonesia untuk Menjaga Stabilitas Kawasan

0

MYLESAT.COM – Air power adalah semua kekuatan militer yang berada di atas permukaan (airborne). Kekuatan ini digunakan tidak hanya untuk perang, namun juga memiliki nilai strategis di masa damai. Negara dengan air power yang ideal akan memiliki deterrence sangat kuat dalam menjaga kedaulatan dan pada saat bersamaan mengamankan kepentingan nasional khususnya di Kawasan.

Teoris air power John A. Olsen mengatakan, jika kekuatan ini bisa optimal dan dimanfaatkan secara tepat, sangat dapat meringankan tugas matra lain dan di saat bersamaan menjadi instrumen utama negara dalam membangun dignity.

Namun di sisi lain, disadari bahwa membangun air power (TNI AU) yang kuat dan unggul tidaklah mudah dan murah. Dibutuhkan ketekunan untuk memahami air power dalam konteks profesi yang harus ditangani oleh sumber daya manusia yang memiliki kompetensi tertentu. Untuk itu, dalam hal ini TNI AU, perlu menggali kompetensi profesi khas matra udara untuk meraih keunggulan air power.

Selain pemahaman dan SDM yang khas dan unggul, air power juga tidak mudah diperoleh meskipun sebuah negara memiliki kesanggupan untuk mengakuisisinya. Ada muatan politik yang sangat kuat dari kelompok rezim pemegang kuasa teknologi kedirgantaraan untuk merestui dijualnya sebuah produk.

Setelah tidak mudah, pun tidak murah. Tengok saja harga untuk sebuah jet tempur F-35A Lightning II, perkiraannya menembus Rp 1,2 triliun. Rusia pun diperkirakan mematok harga Su-57 Felon berkisar di angka Rp 800 miliar.

Itu sebabnya sejumlah negara memilih untuk membangun angkatan udaranya secara mandiri. Baik atas dasar alasan di atas, maupun niat kemandirian yang kuat. Sebutlah China, Korea Selatan, Pakistan, India, Iran, dan Turki, yang semula mengembangkan hanya untuk memenuhi kebutuhan angkatan udaranya, saat ini justru menjadi salah satu produsen.

Jet tempur Dassault Rafale di Terminal Selatan, Lanud Halim Perdanakusuma. Foto: beny adrian/ mylesat.com

Karena pentingnya memiliki kekuatan udara yang kuat, Indonesia pun turut membangun air power untuk mendapatkan nilai strategis dari keberadaan alutsista tersebut di masa damai. Syukur-syukur kelak menjadi produsen yang diperhitungkan karena Indonesia memiliki PT Dirgantara Indonesia.

Itu sebabnya, TNI AU sebagai pemegang kehendak air power utama di negara ini, “gegap gempita” menyambut keputusan Menhan Prabowo Subianto yang mengalokasikan anggaran cukup besar untuk memperkuat pertahanan negara di udara.

Salah satu program pengadaan tersebut adalah pembelian 42 unit jet tempur Dassault Rafale F4 dari Perancis. “Selamat Datang Rafale: TNI AU Siap Menerimamu Untuk Mengawal Angkasa Nusantara”, tulis akun instagram TNI AU @militer.udara sebagai ungkapan resmi.

Pada kesempatan sebelumnya, Menteri Pertahanan Prabowo Subianto mengatakan bahwa pembangunan kekuatan militer bukanlah dalam rangka untuk gagah-gagahan atau malah menimbulkan ketakutan bagi negara tetangga. “Pembangunan angkatan perang itu mahal, kemerdekaan pun mahal, kedaulatan juga mahal, namun memiliki angkatan perang (yang kuat) adalah mutlak untuk menjamin kemerdekaan kita,” tegas Prabowo saat itu.

Karena itu, kata Prabowo, Indonesia harus mempunyai angkatan udara yang unggul agar tetap berdaulat. Menegaskan komitmennya ini, Prabowo akhirnya mengukuhkan kontrak pembelian jet tempur Rafale hingga mencapai total 42 pesawat, dan direncanakan multirole fighter ini akan tiba pada 2026.

Sebagai pihak yang akan mengoperasikan, jauh-jauh hari TNI AU sudah merencanakan bahwa 42 Rafale akan ditempatkan di Lanud Roesmin Nurjadin di Pekanbaru dan Lanud Supadio di Pontianak. Di kedua Lanud ini terdapat armada BAe Hawk 109/209 yang dioperasikan Skadron Udara 1 dan Skadron 12, kelak akan digantikan Rafale secara bertahap.

Terkait rencana ini, KSAU Marsekal TNI Fadjar Prasetyo mengatakan bahwa batch pertama Rafale akan ditempatkan di Skadron 12, Pekanbaru. Ketika jumlah pesawat yang ditetapkan sudah terpenuhi untuk Skadron 12, pesawat Hawk 109/209 akan digabungkan di satu tempat yaitu di Skadron 1.

Batch selanjutnya berturut-turut akan ditempatkan di Skadron 1 di Pontianak. Hingga pada akhirnya pesawat Hawk 109/209 yang telah menjaga wilayah udara Indonesia sejak awal 1990, akan dipensiunkan secara penuh.

Menurut KSAU, mempertahankan operasional pesawat Hawk 109/209 memang sangat berat. Keterbatasan suku cadang dan anggaran pemeliharaan yang terus membengkak, membuat TNI AU harus memensiunkan armada jet mungil ini secepatnya.

Sesuai kemampuannya sebagai interceptor, kehadiran Rafale di Pekanbaru dan Pontianak tentu akan memberikan kemampuan kepada TNI AU untuk menjaga kedaulatan wilayah Indonesia yang bersinggungan dengan Selat Malaka dan Laut China Selatan yang sarat konflik.

Selain itu, kehadiran armada Rafale juga diharapkan akan meningkatkan kesadaran bersama di Kawasan untuk secara terkoordinasi menjaga keamanan di sepanjang perbatasan.

“Pembangunan kekuatan TNI Angkatan Udara yang sedang dan akan terus berlangsung, bukan bermaksud untuk menimbulkan ancaman di Kawasan. Sebaliknya digunakan semata untuk menjaga kedaulatan negara dan pada saat bersamaan demi keamanan wilayah di Kawasan,” jelas Marsekal Fadjar.

Dengan demikian sangat jelas kehadiran Rafale akan meningkatkan kekuatan dan kesiapan TNI AU, sekaligus loncatan teknologi yang akan menjadikan TNI AU sebagai Angkatan Udara modern dan disegani di Kawasan.

Angin Kencang

Pada 8 Januari 2024, kontrak pengadaan pesawat tempur Rafale tahap ketiga sejumlah 18 unit, telah efektif. Kontrak ini disebutkan mulai berlaku pada hari tersebut. Kontrak terakhir ini menyusul berlakunya tahap pertama dan kedua dari enam dan 18 Rafale yang diteken Pemerintah Indonesia pada September 2022 dan Agustus 2023.

Tahap pertama untuk enam Rafale mulai berlaku pada September 2022. Pada 10 Agustus 2023, Dassault Aviation mengumumkan bahwa kontrak mencakup tahap kedua untuk 18 Rafale telah berlaku pada hari itu juga, sehingga total yang ada di bawah kontrak menjadi 24 pesawat.

Pada Februari 2021, Menteri Pertahanan Indonesia mengumumkan bahwa pembelian 36 unit, sebagai bagian dari program pengadaan besar-besaran termasuk tanker A330 dan produk pelengkap dari Amerika Serikat, telah direncanakan dan dana telah diperoleh untuk penyelesaiannya.

Pada 7 Juni 2021, Indonesia menandatangani letter of intent untuk membeli 36 Rafale dan persenjataan serta dukungan terkait. Pada 20 Januari 2022, Menhan Prabowo Subianto mengonfirmasi bahwa Indonesia telah menyelesaikan negosiasi kontrak sambil menunggu aktivasi perjanjian formal oleh Perancis.

Pada 10 Februari 2022, Dassault menyatakan bahwa Indonesia secara resmi telah menandatangani pesanan 42 Rafale F4, yang terdiri dari 30 kursi tunggal dan 12 kursi ganda.

Terkait pembelian ini, sumber daya manusia TNI AU baik dari penerbang maupun teknisi perawatan sudah disiapkan. Mereka telah lolos seleksi untuk selanjutnya akan mengikuti pelatihan di Perancis. Khusus bagi penerbang F-16 yang akan melaksanakan transisi ke Rafale, tentu tidak akan kesulitan karena keduanya menerapkan tongkat kemudi samping (side stick).

Namun diakui bahwa faktor ergonomis penerbang Rafale sangat diperhatikan. Meski kokpit tak bisa dibilang lapang, namun penerbang masih bisa duduk nyaman. Penerbang juga sangat mudah memanfaatkan semua peranti yang ada di kokpit. Sifat yang dikenal dengan MMI (man-machine interface) ini mengurangi beban kerja dan kelelahan pilotnya.

Rafale adalah jet tempur yang lahir dari pembangkangan Perancis atas konsep European Fighter Aircraft atau EFA yang kelak melahirkan Eurofighter Typhoon.

Debat tak kunjung usai di dalam konsorsium ini. Perancis nyeleneh sendiri, ngotot menerapkan limitasi bobot pesawat tempur lantaran menginginkan penempur baru tersebut bisa dioperasikan dari kapal induknya sistem CATOBAR (catapult-assisted takeoff but arrested recovery).

Jet cantik khas produk Perancis ini sudah meraih predikat combat proven di Afghanistan pada 2002. Soal pembuktian di medan tempur, Rafale diuntungkan oleh dukungan penuh pemerintah Perancis yang mengirim Rafale ke Afghanistan.

Setelah itu tiga flight jet tempur Rafale diterjunkan dalam Opération Harmattan dalam upaya penghentian perang sipil di Libya pada 2012. Rafale sudah dianggap siap laga lantaran subvarian F3 yang fully multirole sudah operasional.

Dalam operasi udara yang juga dikenal dengan Libyan Air War ini, Rafale membuktikan label omnirole. Beragam misi dilakoni tanpa kehilangan satu Rafale pun, sementara AS mesti merelakan sebuah F-15E Strike Eagle tertembak jatuh di sekitar Benghazi.

Karena avionik yang komplet dan canggih serta MMI, membuat Dassault sesumbar mengklaim bahwa Rafale adalah jet tempur Omnirole bukan sekadar multirole. Palagan Libya tahun 2012 membuktikan, dalam satu sorti Rafale bisa melakoni beberapa misi sekaligus.

Pesawat tempur masa kini memang rata-rata bersifat multiperan, tapi umumnya konfigurasi sensor berikut senjata bawaannya terbatas serta harus direkonfigurasi ulang di darat.

TNI AU akan menempatkan jet tempur omnirole Dassault Rafale di Skadron Udara 12 Pekanbaru dan Skadron 1 Pontianak. Foto: beny adrian/ mylesat.com

Dari segi istilah, sebetulnya keduanya sama saja. Hanya beda penyebutan. Namun pihak Dassault mengklaim bahwa Omnirole berbeda dengan Multirole. Jika Multirole berarti mampu melakukan berbagai misi baik reconnaissance, air superiority, air-to-ground, dan sebagainya, sebaliknya dalam persepsi Dassault, Omnirole memiliki cakupan dan kapabilitas misi yang lebih luas dari Multirole.

Klaim Dassault menyebutkan bahwa Omnirole memampukan pesawat sekaligus melaksanakan misi Air Superiority, Anti-Access, Electronic warfare, Reconnaissance, Close Air Support, Dynamic Targeting, Interdiction/ Precision Strike, Anti-ship, Nuclear deterrence, Buddy-to-buddy air refueling, dan Compatible for Aircraft Carrier missions.

Pesawat Multirole sebenarnya juga memiiki kemampuan ini, namun tidak semuanya digotong dalam satu pesawat. Satu unit pesawat Multirole hanya memiliki hampir seluruhnya atau hanya sebagian dari kemampuan tersebut.

“Saat Rafale tiba di tanah air saya sudah pensiun. Namun saya bertanggung jawab untuk menyiapkan dari sekarang semua hal terkait pengoperasian Rafale. Mulai dari menyiapkan SDM, infrastruktur di skadron udara hingga kompatibilitasnya dengan pesawat tempur yang lain,” jelas KSAU Marsekal TNI Fadjar Prasetyo.

Menurut Marsekal Fadjar, aspek kompatibilitas harus diperhatikan guna menyelaraskan berbagai jenis pesawat tempur yang dioperasikan TNI AU. Dari berbagai sumber yang ada, diketahui bahwa TNI AU kelak akan mengoperasikan lima jenis penempur yaitu Rafale, F-15EX, KF-21 Boramae serta tentu saja F-16 Fighting Falcon dan Su-27/30 Flanker.

Karena itu, ditegaskan Marsekal Fadjar, pembangunan kekuatan TNI AU harus (tetap) mengacu kepada tiga hal yaitu Commonality, Sustainability, Technology.

Kita tunggu kedatangan Rafale, yang dalam bahasa Inggris berarti squall yaitu angin kencang yang berhembus secara tiba-tiba.

Spesifikasi RAFALE
Kontraktor  Dassault Aviation, Perancis
Terbang perdana 4 Juli 1986 (purwarupa technology demonstrator Rafale A, kursi tunggal); 19 Mei 1991 (purwarupa operasional Rafale C-01, kursi tunggal)
Operasional Desember 2000 (Rafale M)
Mesin 2 x Snecma M88-2 afterburning turbofan, masing-masing berdaya 50 kN (normal) dan 75 kN (full afterburner)
Dimensi panjang: 15,3 m; tinggi: 5,3 m; rentang sayap: 10,8 m
Bobot kosong Rafale C: 9.500 kg; Rafale B: 9.750 kg; Rafale M: 10.195 kg
Max Takeoff Weight 24.500 kg
Kecepatan maksimum Mach 1,8 pada ketinggian jelajah; Mach 1,1 pada ketinggian rendah
Ketinggian maksimum 16.800 m (55.000 kaki)
Daya tanjak 305 m/detik
G-limit -3,2G sampai +9G
Radius tempur ± 1.850 km (3 drop tank, sepasang rudal SCALP EG atau 4 bom GBU-12) dan empat rudal udara ke udara)
Awak 1 (Rafale C dan M) dan 2 (Rafale B)
Persenjataan internal 1 x kanon GIAT 30/719B kaliber 30mm
Persenjataan Rudal udara ke udara: Magic 2, MICA EM (Electro-Magnétique), MICA IR (Infra-Red), Meteor; Rudal udara ke permukaan: rudal antirunway APACHE (Arme Propulsée Antipiste à Charges Ejectables), rudal jelajah multifungsi SCALP EG (Système de Croisière Autonome à Longue Portée – Emploi Général), rudal antikapal AM-39 Exocet, rudal nuklir ASMP (Air-Sol Moyenne Portée), rudal nuklir ASMP-A (Air-Sol Moyenne Portée-Ameliore), rudal anti armor Brimstone (dalam proses); Bom: general purpose bomb/ unguided bomb, SBU-38/54/64 AASM (Armement Air-Sol Modulaire), GBU-12 Paveway II (227 kg), GBU-24 Paveway III (907 kg)

 

Share.

About Author

Being a journalist since 1996 specifically in the field of aviation and military

Leave A Reply