MYLESAT.COM – Airbus A400M Atlas lahir dari kebutuhan negara-negara Eropa untuk memiliki pesawat angkut militer yang mampu menjembatani peran antara C-130 Hercules dan C-17 Globemaster II. Program ini resmi dimulai pada awal tahun 2000 oleh konsorsium Airbus Defence and Space, melibatkan tujuh negara anggota NATO.
Gagasan A400M muncul pada dekade 1980–1990-an, saat negara-negara Eropa sadar bahwa mereka membutuhkan pesawat angkut yang lebih besar dari C-130 Hercules, namun lebih ekonomis dari C-17 Globemaster II.
Berbagai upaya ditempuh negara-negara Eropa, semuanya bermuara kepada satu harapan ingin berdiri di atas kaki sendiri dan tidak lagi sepenuhnya bergantung pada teknologi Amerika. Maka lahirlah konsep “Future Large Aircraft (FLA)” pada tahun 1982, sebuah proyek multinasional untuk menciptakan pesawat angkut bersama di bawah bendera NATO.
Tujuh negara NATO yaitu Jerman, Perancis, Spanyol, Inggris, Turki, Belgia, dan Luksemburg, bersatu padu di bawah bendera Airbus Military untuk melahirkan proyek A400M Atlas.
Mereka semua memiliki kebutuhan serupa yaitu menggantikan armada C-130 dan Transall C-160 yang sudah menua. Airbus, yang kala itu baru menguat sebagai produsen pesawat sipil, ditunjuk untuk memimpin desain militer pertamanya.
Pesawat ini dirancang untuk menjawab tantangan masa depan yaitu mengangkut pasukan dan logistik ke mana pun dibutuhkan, dari medan perang hingga misi kemanusiaan global.
Namun perjalanan A400M tidak semulus yang diharapkan. Seiring berjalannya waktu, proyek ini menghadapi tantangan besar: biaya membengkak, jadwal tertunda, dan perdebatan politik antarnegara.
-
Italia menjadi negara besar pertama yang mengundurkan diri pada awal 2000-an. Alasannya: biaya pengembangan terlalu tinggi dan prioritas anggaran pertahanan berubah. Italia kemudian memilih fokus pada proyek angkut taktis C-27J Spartan buatan sendiri (Alenia).
-
Britania Raya, meski bertahan dalam proyek, sempat mengancam untuk keluar karena keterlambatan pengiriman dan lonjakan biaya. London bahkan sempat menunda pembayaran dan menuntut Airbus agar menanggung sebagian kerugian.
-
Jerman, pengguna terbesar, juga sempat membekukan komitmen akibat masalah mesin dan kelebihan berat pesawat di tahap awal. Namun akhirnya tetap melanjutkan setelah renegosiasi besar pada 2010.
Krisis ini hampir menggagalkan proyek sepenuhnya. Namun berkat diplomasi industri dan tekad politik yang kuat, enam negara utama yaitu Perancis, Jerman, Spanyol, Inggris, Turki, dan Belgia (dengan Luksemburg sebagai mitra) sepakat melanjutkan pembangunan.
Mereka menandatangani perjanjian baru pada 2003, yang menjadi tonggak resmi kelahiran Airbus A400M Atlas.
Prototipe pertamanya, MSN001, menyelesaikan first flight pada 11 Desember 2009 dari Sevilla, Spanyol. Empat mesin turboprop raksasa TP400-D6 membawa pesawat mengudara. Setahun kemudian, 8 April 2010, pesawat kedua sukses diterbangkan. Berlanjut pada Juli 2010, giliran pesawat ketiga.
Momen tersebut menandai era baru pesawat angkut turboprop modern. Penerbangan itu menjadi simbol bahwa meski dilahirkan dari perbedaan dan krisis, Eropa mampu bersatu demi satu tujuan yakni kemandirian strategis.
Uji coba berlangsung bertahun-tahun dengan melewati badai, panas gurun, dan dinginnya pegunungan. Hingga akhirnya, pada 2013, pesawat pertama diserahkan kepada Angkatan Udara Prancis (Armée de l’Air).
Misi pertamanya langsung menguji kemampuan sebenarnya. Ketika itu Atlas ditugaskan mengangkut logistik ke Afrika dalam operasi militer dan kemanusiaan di Mali. Dari situ, reputasinya tumbuh sebagai pesawat yang tangguh, fleksibel, dan andal karena mampu membawa 37 ton muatan, lepas dari landasan pendek, serta beroperasi di berbagai kondisi ekstrem.
Jika melihat jejak pesawat ini di Indonesia, sejatinya Airbus sudah lama mengincar Indonesia sebagai potential buyer. A400M Atlas mendarat untuk pertama kalinya di Indonesia pada 4 Oktober 2011. Pesawat singgah beberapa hari di Jakarta untuk mengadakan demonstrasi dan joy flight. Airbus mengundang sejumlah awak media nasional.
Setelah kedatangan pertama di Indonesia tahun 2011, Airbus kembali membawa A400M ke Halim pada 18 April 2012. Pesawat A400M milik AU Inggris itu dibawa ke Jakarta untuk memeriahkan peresmian kesepakatan kerjasama strategis jangka panjang antara Airbus Military dan PT Dirgantara Indonesia.
Lama menghilang, kehadiran Atlas di Lanud Halim Perdanakusuma kembali terlihat pada 24 Agustus 2018.
A400M milik Angkatan Udara Perancis mendarat di Terminal Selatan Halim sebagai pesawat pendukung untuk tiga jet tempur Rafale yang tengah mengadakan tur promosi dunia.
Hanya selang sebulan kemudian, terjadi gempa bumi disusul tsunami di Palu, Sulawesi Tengah pada 29 September 2018. Malaysia mengirimkan A400M dari Pangkalan Subang ke Lanud Halim untuk membantu pengiriman bantuan.
Pada 12 November 2019, Airbus kembali memboyong A400M ke Halim. Kedatangan pesawat milik Angkatan Udara Inggris ini diliput secara luas oleh media nasional.
Airbus A400M secara resmi menyematkan nama Atlas untuk pesawat angkut turboprop produksinya pada Juli 2021 saat berlangsungnya Farnborough International Airshow. Pemilihan nama ini disetujui secara aklamasi oleh tujuh negara negara Eropa yang berpartisipasi dalam proyek bersama ini.
Atlas merupakan nama salah satu dewa dalam mitologi Yunani. Atlas memiliki kekuatan besar sehingga dipercaya bumi berada di pundaknya.
A400M kini menjadi tulang punggung mobilitas udara di banyak negara, dari Prancis, Jerman, Inggris, Spanyol, Turki, Belgia, hingga Malaysia dan sekarang Indonesia.
Kini, A400M dikenal sebagai tulang punggung mobilitas udara modern, dipakai oleh banyak negara untuk misi militer, kemanusiaan hingga bantuan bencana. Dengan kombinasi kekuatan, jarak tempuh, dan teknologi canggih, A400M menjadi simbol kemampuan udara abad ke-21 dengan sayap besar yang menjangkau lebih jauh, cepat, dan pasti.