MYLESAT.COM – Nama yang satu ini memang tidak terkenal, apalagi disandingkan dengan Omar Dhani, Leo Wattimena, Dewanto atau Saleh Basarah. Sekalipun mereka seangkatan dari Taloa (Transocean Air Lines Oakland Airport) di Kalifornia. Namun Kapten (Pur) Hapid Prawira Adiningrat adalah satu di antara mereka, penerbang P-51 Mustang TNI AU pada masanya.
Kapten (Pur) Hapid Prawira Adiningrat adalah satu dari 60 pemuda Indonesia yang dikirim AURI ke Kalifornia untuk menempuh pendidikan penerbang dari Desember 1950 hingga Juli 1952.
Alumni terakhir Taloa ini wafat pada Rabu, 2 Maret 2022 dalam usia 94 tahun. Jenazah dimakamkan di TPU Jombang, Tangerang pada hari yang sama.
Sungguh membahagiakan pernah bertatap muka langsung dengan satu dari dua alumni Taloa ini. Pertemuan pada awal 2020 itu, menjadi kenangan bagi mylesat.com, karena saat itu Hapid menjadi satu dari dua angkatan Taloa yang tersisa.
Satu lagi adalah The Tjing Ho alias Steve Kristedja yang tinggal di Amerika Serikat dan meninggal tahun 2021. Selama berkarier di AURI, Steve adalah navigator pesawat angkut C-130 Hercules.
Sejatinya Hapid bukanlah penerbang sembarangan. Ia adalah penerbang tempur P-51 Mustang semasa berdinas di AURI. Karena usia yang sudah lanjut saat ditemui, memang tidak mudah bagi Hapid untuk berkomunikasi. Pendengaran yang sudah berkurang jauh membuatnya sulit untuk berinteraksi.
“Maklum sudah tua, kadang saya coba baca gerak mulut orang,” aku ayah dari tiga putra-putri ini. Selama pertemuan, Hapid didampingi anak keduanya Hakima Elvira yang akrab disapa Kimmy.
Wajar saja Hapid yang hanya berpangkat kapten tidak dikenal. Karena tahun 1959 ia sudah keluar dari AURI, di saat pemberontakan tengah marak-maraknya di sejumlah daerah di tanah air. Sehingga jejak kariernya memang terputus.
“Pada saat Padang D Day, serangan besar-besaran dan AURI kekurangan pilot Mustang dan Dakota, saya sudah berhenti dari Skadron 3 karena tidak ingin meneruskan karier di AURI, mau pensiun dini. Jadi saat itu kerjaan saya di Kalijati menjadi instruktur penerbang,” ungkap Hapid.
Padang D Day adalah istilah Hapid untuk menjelaskan Operasi 17 Agustus yang digelar pada 17 April 1958 oleh pemerintah pusat untuk menumpas Gerakan PRRI (Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia) di Sumatera Barat. Kepada perwira saat itu, Hapid menyampaikan bahwa dia sudah cukup lama tidak terbang Mustang apalagi nembak atau ngebom.
Singkat cerita, Hapid pun terbang ke Tanjung Pinang yang menjadi pangkalan induk operasi AURI saat itu.
Misi yang dilakukannya di antaranya di Sungai Dareh, yang saat ini berada di Kecamatan Pulau Punjung, Kabupaten Dharmasraya, Provinsi Sumatra Barat. Sekitar 178 km dari kota Padang ke arah timur.
“Tidak ada pilihan, di sana semua amunisi saya habisin, ada jembatan dibom namun Sungai Dareh tidak terlihat dari udara karena kotanya seperti hutan,” kenang Hapid.
Hari itu 16 April, yang berarti satu hari menjelang Operasi 17 Agustus. Sambil melihat kepulan asap dari bom yang dijatuhkan, P-51 Mustang itu kembali ke Tanjung Pinang. Di Tanjung Pinang, Hapid menerima perintah baru untuk menerbangkan misi penerjunan esok harinya, dengan pesawat yang berbeda. Menurut perwira operasi, pesawat C-47 Dakota yang akan menerjunkan pasukan payung esok subuh, kekurangan penerbang.
“Kamu saja, lah,” ujar perwira itu kepada Kapten Hapid.
Menurut Hapid, lusinan pesawat lepas landas sekitar pukul 3 dini hari, heading west ke arah kota Padang.
Lusinan pesawat lepas landas dari tiga titik yaitu Tanjung Pinang, Pekanbaru, dan Medan. Semua menuju Padang.
Ada C-47 Dakota, pemburu P-51 Mustang, dan pembom B-25 Mitchell. Khusus Dakota, membawa ratusan pasukan payung APRI yang akan diterjunkan di Bandara Tabing di Padang. Pasukan ini gabungan PGT (Pasukan Gerak Tjepat) dan RPKAD (Resimen Para Komando Angkatan Darat).
“Kami take off dari Medan. Pesawat terbang puluhan jumlahnya,” kata Hapid.
Batinnya berontak
Di kokpit Mustang juga, Hapid pernah menerima perintah melaksanakan operasi penumpasan kelompok Kartosuwiryo di Jawa Barat, kampung halamannya sendiri. “Mungkin famili saya yang saya tembak. Bandung selatan itu kan sampai Tasikmalaya dan Garut,” ujarnya.
Karena sedari awal sudah bertentangan dengan batinnya, Hapid mengaku kucing-kucingan dengan perwira operasi saat menjalankan perintah.
“Saya diperintah tapi saya sadar, perintah yang saya tidak suka. Briefing dipimpin seorang letnan muda, dia bilang posisinya di sini dan tembak saja pada jam yang ditentukan,” cerita Hapid.
Esok paginya, ia terbangkan Mustang ke koordinat yang diperintahkan. Tidak sulit bagi Hapid mencari lokasinya, karena ia lahir dan besar di Sukabumi pada 8 Mei 1927. Persis di atas lokasi dimaksud, Hapid tergagap sejenak karena membayangkan sanak saudaranya di bawah. Apa jadinya jika mereka tewas.
“Tiba di posisi, saya lihat, dan tidak jadi nembak. Saya kembali saja,” katanya.
Hapid mengatakan kepada bagian operasi bahwa ia tidak jadi nembak. “Gila apa, itu rakyat semua, masak saya harus tembak,” ungkapnya.
Namun dijelaskan perwira itu bahwa begitulah pola operasi gerilya. Siang hari mereka akan berbaur dengan warga, namun malamnya menenteng senjata.
“Ok, besok saya terbang lagi, saya akan tembak,” jawab Hapid.
Tet tet tet tet tet….., amunisi dimuntahkannya sampai habis. Tidak sekali dua kali misi ini dijalankan Hapid di Bandung selatan.
Kepada perwira operasi dijelaskannya bahwa misi sudah dijalankan. “Sudah saya tembak,” jawabnya.
Padahal selama misi di Jawa Barat itu, aku Hapid, tidak sekalipun tembakannya di arahkan ke koordinat yang diperintahkan komando atas.
“Itu kan kampung ibunya,” Kimmy menambahkan cerita bapaknya.
Seperti halnya sudah jamak diceritakan aksi edan Leo Wattimena dengan Mustang, pun Hapid ternyata setali tiga uang dengan temannya itu.
Sebagai instruktur penerbang di Kalijati dan tinggal di Halim, hampir setiap pagi Hapid harus berangkat ke Kalijati dengan menerbangkan sendiri pesawatnya. Pesawat apa saja yang tersedia saat itu, diterbangkannya.
Ada Piper J-3 Cub, BT-13 Valiant, AT-6 Harvard, dan tentu saja Mustang yang paling sering dibawanya. Tiba-tiba Hapid teringat, salah satu siswanya adalah Daniel Maukar.
Suatu hari ia take off dengan Mustang dari Halim pukul 06.45. Sengaja ia pilih waktu ini supaya tepat pukul 7 sudah berada di atas Kalijati yang tengah melaksanakan upacara pagi. “Saya datang langsung nyamber high speed,” cerita Hapid sambil tertawa.
1 Juli 1959, Kapten Hapid Prawira Adiningrat resmi meninggalkan AURI untuk selama-lamanya. Ia memilih pensiun dini dan berkarier di Caltex karena merasa tidak sanggup mengikuti aturan di dunia militer.
Karena itu pula selepas dari AURI, Hapid tidak mau menjadi pilot Garuda. Sampai akhirnya berjodoh dengan Caltex setelah sebelumnya mencari peluang terbang di Shell dan Stanvac.
Sebenarnya bukan peluang terbang yang menjadi prioritasnya begitu keluar dari AURI. Tapi perusahaan mana yang bisa memberikan rumah baginya pada tanggal 1 Juli itu. Karena di hari itu, ia harus keluar dari rumah bersama keluarganya.
“1 Juli itu saya pinjam truk AURI bawa perabotan dan masuk rumah itu, saya di Caltex 36 tahun sampai 1986 pensiun,” ucap Hapid.
Kebetulan sekali gaya bos Caltex saat itu sangat cocok dengan harapan Hapid. Sesuai dengan passion-nya. “Kata bos, you are responsible untuk flying, dan company butuhnya apa saya harus siap bantu.”
Saat itu Caltex memiliki dua pesawat Dakota. “Bos bilang keduanya harus well maintain dan mereka tidak mau tahu, pokoknya pesawat harus siap,” tutur Hapid.
“Di Caltex persis yang saya inginkan, terbang terus,” ujar Hapid yang mengoleksi 14.000-an jam terbang.
Ketika ditanya kenapa masuk AURI jika tidak mau ikut aturan militer? “Karena saya ingin jadi pilot, saya ingin terbang, waktu itu yang bisa (terima) hanya AURI,” jelas Hapid.
Karena itulah Hapid menolak pendidikan Angkatan Laut (ALRI) di Belanda karena tidak mau menjadi pelaut.
Banyak sekali kenangan Hapid sejak mengikuti pendidikan di Taloa hingga keluar dari AURI.
Mulai dari kenangan makan mie ayam bareng Omar Dhani di Cikini usai mendaftar di Mabes AURI di Merdeka Barat hingga nyaris berkelahi dengan Leo Wattimena. Semua indah bagi Hapid.
Katakanlah soal Omar Dhani. Tak lama setelah dibebaskan dari penjara, Hapid menelepon sahabatnya itu. “Ned, saya boleh ke rumah nggak,” tanyanya. Setelah ngalor-ngidul setelah puluhan tahun tidak bertemu, lalu seseorang datang membawakan hidangan: mie ayam!
Dari pernikahannya dengan gadis Lampung keturunan Belanda bernama Diana Sijnja (wafat 28 April 1999), pasangan ini dikaruniai tiga putra-putri. Yaitu Habinka Hadiani, Hakima Elvira, dan Dayan Anthoni.
Mata tuanya menerawang jauh menembus waktu sekitar 75 tahun yang lalu. Ketika sebuah pesawat tempur milik Belanda terbang rendah di atas rumahnya di Sukabumi, sangat rendah, sehingga mengagetkan Hapid kecil yang tengah asyik main kelereng.
“Ketika saya lihat pesawat itu, seolah-olah saya ada di sana dan dia menuju saya, seolah-olah dia sengaja datang untuk saya, lalu menghilang. Andaikata saya seperti dia, bisa terbang, alangkah hebatnya,” gumam Hapid kecil ketika itu.
“Taloa adalah zaman emas saya,” aku anak ke 12 dari 13 bersaudara ini.