MYLESAT.COM – Diskusi dan debat hangat di sejumlah akun media sosial dalam beberapa bulan terakhir, berkesudahan. Kementerian Pertahanan Indonesia sepakat membeli pesawat tempur Dassault Rafale dari Perancis. Jumlah yang tidak sedikit, total 42 pesawat!
Terakhir kali TNI AU mendapat pesawat tempur dalam jumlah banyak adalah, saat pembelian 41 jet mungil BAe Hawk 109/209 dari Inggris. Saat ini kesiapan Hawk 109/209 yang dioperasikan di Skadron Udara1 dan 12, sudah jauh menurun.
Penandatangan perjanjian pembelian jet tempur generasi 4,5 ini disaksikan Menteri Pertahanan Prabowo Subianto dan Menteri Angkatan Bersenjata Republik Perancis Florence Parly di Kantor Kementerian Pertahanan, Jakarta, Kamis (10/2/2022).
Delegasi Menteri Angkatan Bersenjata Perancis bersepakat menandatangani sejumlah perjanjian kerjasama. Salah satunya kontrak pembelian enam jet tempur Dassault Rafale. Perjanjian diteken oleh Kepala Badan Sarana Pertahanan Kementerian Pertahanan (Kabaranahan Kemhan) dengan pihak Dassault.
“Perancis bertekad mendukung secara aktif program strategis Indonesia dan mendukung pengembangan industri pertahanan Indonesia yang solid,” tutur Parly.
“Pembelian 6 pesawat tempur Rafale sebagai awal dari kontrak yang lebih besar untuk 36 pesawat tempur Rafale berikutnya,” kata Menhan Prabowo. Artinya jika ditotal, Pemerintah siap membelikan 42 jet Rafale.
Jumlah yang tidak sedikit mengingat harga pesawat Perancis terkenal sangat mahal. Menurut nasional.kontan.co.id, harga satu unit Rafale berada dikisaran 120 juta dolar AS atau sekitar Rp 1,72 triliun. Suatu angka fantastis untuk harga jet tempur kelas medium.
Dari sejumlah literatur pada sekitar tahun 2010, harga pesawat ini masih dikisaran 152 juta dolar AS. Ketika itu dari sebuah analisis menyebutkan biaya program Rafale jika diproduksi 294 unit (hanya untuk Perancis) adalah sekitar 45 miliar Euro (sekitar Rp 575 triliun dengan kurs saat itu). Jika dibagi rata per unit maka harga dibanderol 152 juta Euro (sekitar Rp 1,96 triliun).
Menurut Menteri Angkatan Bersenjata Republik Perancis, pilihan Indonesia menggunakan Rafale adalah ujud kepercayaan kepada Prancis dan membuktikkan bukti bahwa kemitraan strategis kedua negara sangat kuat dan dinamis.
Menurut Prabowo, Indonesia merencanakan pembelian alutsista yang cukup signifikan untuk multirole combat aircraft dengan mengakuisisi 42 pesawat Rafale. “Kita mulai hari ini dengan tanda tangan kontrak pertama untuk enam pesawat,” ujar Prabowo.
Katanya, akan disusul dalam waktu dekat dengan kontrak untuk 36 pesawat lagi dengan dukungan latihan persenjataan dan simulator yang dibutuhkan.
Usai pertemuan bilateral, Menhan Prabowo Subianto dan Menteri Angkatan Bersenjata Republik Perancis Florence Parly menyaksikan penandatanganan MoU kerja sama di bidang research and development kapal selam antara PT PAL dengan Naval Grup.
Kerja sama ini mengarah kepada pembelian dua kapal selam kelas Scorpene beserta persenjataan dan suku cadang yang dibutuhkan termasuk latihan.
Selain itu kerja sama antara Dassault dan PT DI untuk maintenance, repair, dan overhaul (MRO) pesawat Perancis di Indonesia seperti Rafale, helikopter Caracal, dan lainnya, termasuk MoU kerja sama di bidang telekomunikasi antara PT LEN dan Thales Group serta kerja sama pembuatan amunisi kaliber besar antara PT Pindad dan Nexter Munition.
Rafale merupakan representasi sukses kemandirian Perancis dalam produksi alutsista. Kemandirian sepenuhnya, karena tidak satu pun sub sistem besar (major subsystem) Rafale yang tidak dibuat oleh perusahaan Perancis.
Kalaupun ada kontaminasi adalah sewaktu purwarupa terawal atau demonstrator Rafale A yang masih ditenagai mesin produksi AS lantaran mesin buatan Snecma belum siap. Namun purwarupa berikutnya hingga operasional kini, major subsystem pada Rafale benar-benar bersih dari produk asing di luar Perancis.
Hanya saja kemandirian ini harus dibayar mahal dengan melambungnya harga Rafale untuk menutup ongkos pengembangan yang selangit.
Jika membuka sedikit jeroan Rafale, desain pesawat ini berpatokan pada empat poin utama yang diajukan AU Perancis dan Aeronavale (Penerbangan AL Perancis) selaku pengguna.
Pertama adalah persentase kesamaan (commonality) airframe setinggi mungkin antara varian AU dan AL, serta antara varian kursi tunggal maupun ganda.
Kedua, kapabilitas multiperan seluas mungkin, mulai dari keunggulan di udara, serang darat, intai, hingga serangan nuklir, bahkan kalau perlu sebagai tanker untuk sesama fighter (buddy refueling).
Ketiga, modularitas subsistem sehingga bisa ditingkatkan kemampuannya dengan sesedikit mungkin perubahan pesawat.
Syarat keempat menyangkut urusan bobot, di mana versi AU berada di kisaran sembilan ton. Sementara varian AL yang diperkuat struktur airframe dan perangkat pendarat khusus yang sesuaikan dengan operasi di kapal induk, lebih berat namun tidak melampaui 11 ton.
Sebelum kelak Rafale tiba di tanah air, TNI AU dari sekarang sudah harus memikirkan dislokasinya. Akan ditempatkan di mana dan menggantikan pesawat apa.
Belum lagi urusan logistik yang tidak bisa disamaratakan antara satu pesawat pesawat lainnya. Apalagi jika beda Blok. Setelah itu menyiapkan personel baik penerbang maupun teknisi.
Seperti kita ketahui, tidaklah mudah mencetak penerbang tempur. Persyaratan yang dibutuhkan sangat tinggi dan ketat.