MYLESAT.COM – Meningkatnya pesanan jet tempur Dassault Rafale tidak melulu membuat pabrikan happy. Dassault Aviation mengatakan bahwa peningkatan produksi jet tempur Rafale terus terdampak oleh gangguan rantai pasokan di industri kedirgantaraan. Dassault tengah berusaha agar tidak terlambat untuk mengirimkan pesanan.
Meningkatkan laju produksi Rafale menjadi tiga unit per bulan di pabrik perakitan akhir di Mérignac di barat daya Prancis, berada dalam situasi “lebih sulit saat ini”. CEO Dassault Aviation, Éric Trappier mengatakan kepada media di Saint-Cloud pada Selasa malam (23/0702024), bahwa untuk mencapai tingkat produksi tersebut lebih menjadi pertanyaan untuk tahun depan daripada tahun ini.
Semua pabrikan pesawat telah berjuang dengan masalah rantai pasokan sejak akhir pandemi Covid-19, dengan Airbus bulan lalu memangkas perkiraan pengiriman untuk pesawat komersial pada 2024 karena kekurangan pasokan termasuk suku cadang struktural dan mesin.
Dassault Aviation, yang juga membuat seri jet bisnis Falcon yang dioperasikan TNI AU, tahun lalu mengirimkan 13 pesawat tempur Rafale, dua lebih sedikit dari yang direncanakan.
“Kami melakukan semua yang kami bisa untuk mengirimkan tepat waktu, tetapi sulit dan akan tetap seperti itu,” kata Trappier. “Ini bukan hanya masalah Dassault, jika Anda telah membaca pengumuman Airbus dan kesulitan rantai pasokan aeronautika di semua bidang,” ungkapnya menjelaskan.
CEO Dassault ini mengatakan bahwa perusahaannya belum mengejar “penundaan kecil” dalam pengiriman Rafale tahun lalu, tetapi “kami belum tertinggal terlalu jauh.” Dia mengatakan target pengiriman 2024 membutuhkan kecepatan produksi sekitar dua jet per bulan.
Dassault Aviation telah mengirimkan enam jet Rafale kepada Angkatan Udara Perancis pada paruh pertama 2024, dan mengulangi targetnya untuk mengirimkan 20 pesawat tempur tahun ini. Perusahaan ini menerima pesanan 223 Rafale pada akhir Juni, termasuk 159 jet baru untuk klien ekspor, meningkat 12 pesawat dari akhir Desember setelah pesanan dari Indonesia.
Seperti diketahui Kementerian Pertahanan Indonesia memesan 42 jet Rafale untuk dioperasikan TNI AU. Dari berbagai sumber disebutkan bahwa jet ini akan tiba di tanah air pada tahun 2026.
“Kami telah menandatangani kontrak untuk Rafale, jadi kami harus mengirimkannya tepat waktu. Untuk saat ini, itulah yang kami lakukan. Meskipun demikian, saya cukup optimis bahwa kami akan dapat mengirimkan Rafale sesuai pesanan. Saya bahkan siap untuk menerima pesanan baru,” katanya sesumbar dan dikutip defensenews.com.
Perusahaan ini telah mampu melampaui kecepatan yang dibutuhkan untuk tiga jet per bulan di pabrik komponen strukturalnya di Seclin. Trappier mengatakan kepada media bahwa perakitan akhir merupakan tahap yang lebih sulit. Menurut, perakitan akhir seperti menyusun sebuah Lego, dengan satu bagian yang hilang berarti Anda tidak dapat melakukannya dengan benar.
Kesulitan utama ada pada bagian struktural serta “sejumlah besar persediaan dan item peralatan kecil”. Dassault Aviation memberikan dukungan kepada subkontraktor serta pemasok kecil dan menengah, termasuk menyediakan staf dan pembiayaan serta mendiskusikan kenaikan harga. Bantuan tersebut memang tidak mencegah penundaan. Masalah utama saat ini adalah pengiriman pesawat.
Dassault Aviation sedang dalam pembicaraan dengan sejumlah negara untuk ekspor Rafale, dan bekerja sama dengan badan persenjataan Perancis DGA untuk kontrak pertama mengembangkan standar Rafale F5, yang akan bekerja sama dengan pesawat tempur tak berawak.
Perusahaan ini mengawasi studi untuk komponen pesawat tempur Future Combat Air System (FCAS). Tim Jerman, Spanyol, dan Perancis yang bekerja sama di Saint-Cloud telah menyelesaikan studi terowongan angin untuk menentukan bentuk jet masa depan. Perusahaan yang terlibat harus sepakat untuk membagi pekerjaan pada tahap berikutnya, yaitu membangun pesawat demonstrator.
Pengerjaan demonstrator FCAS dijadwalkan akan dimulai tahun 2026, meskipun Trappier mengatakan bahwa itu adalah jadwal teoretis. Karena Bundestag Jerman harus mengesahkan anggaran, dan Perancis akan membutuhkan pemerintah yang berfungsi untuk menerapkan undang-undang pemrograman militer negara itu.
Sementara Dassault Aviation bersiap-siap untuk fase demonstrasi FCAS, Trappier mengatakan pihaknya masih jauh dari memiliki program. Pembuat pesawat Perancis ini memulai pekerjaannya pada standar Rafale F5 di masa depan, dengan proposal untuk pesawat tempur tak berawak yang dapat bekerja sama dengan jet tempur “setelah tahun 2030” dan terpisah dari FCAS.