Marsda (Pur) Iskak Karmanto, Dari Direct Flight Jambi-Manado hingga Teguran Benny Moerdani Saat Mendarat

0

MYLESAT.COM – Menjadi penerbang TNI AU adalah masa-masa membanggakan yang pernah dijalani Marsda (Pur) Iskak Karmanto. Alumni Akademi Angkatan Udara 1969 ini adalah penerbang pesawat C-47 Dakota dan C-130 Hercules. Kedua pesawat ini telah meninggalkan sejuta kisah yang tak pernah habis untuk diceritakannya.

Semasa masih menerbangkan Dakota, Iskak malang melintang ke seluruh penjuru tanah air. Dengan Dakota pula ia pertama kali membukukan pengalaman operasinya di daerah pertempuran Timor Timur. Persisnya awal 1976, Kapten Pnb Iskak Karmanto mendaratkan pesawatnya di Lanud El Tari, Kupang.

Pesawat Dakota yang tidak mudah dikendalikan karena menggunakan tail wheel, jadi jinak di tangan Iskak. Ribuan jam terbang dibukukannya di pesawat angkut legendaris ini.

“Supaya landing tidak bounce dan nabrak bukit di Timtim, saya tabrakin aja roda pesawat ke landasan sehingga langsung mendarat,” kenangnya.

Tahun 1977, Iskak melaksanakan konversi ke pesawat Hercules yang jauh lebih canggih. Namun karena jam terbangnya, Iskak masih kerap diminta menerbangkan Dakota.

Sangat banyak kejadian dengan nyawa taruhannya dialami Iskak di pesawat Dakota. Menurutnya, saat itu Dakota TNI AU sudah rendah kesiapannya. Dikatakannya, menerbangkan pesawat ini sifatnya no go item, radio lemah, navigasi tidak bisa diandalkan, dan kalau hujan pasti airnya netes.

“Tapi saya tetap bangga jadi penerbang Dakota karena penuh perjuangan. Apalagi kalau cuaca buruk, nangis sudah. Kompas, ADF, gyro, stabilizer, semuanya miring. Lalu apa yang bisa saya ikuti? Ya sudah, pakai rumus kompas magnet saja,” tuturnya.

Tidak hanya air hujan yang menetes, oli mesin pun selalu menetes. Sehingga dalam penerbangan jauh dan lama, kru pasti membawa oli cadangan. “Kalau dibilang bocor itu selalu always,” ujarnya tertawa.

Kenangan paling berkesan bagi Iskak sebagai penerbang Hercules adalah berkesempatan menerbangkan dua tokoh penting saat itu. Yaitu Panglima ABRI Jenderal Muhammad Jusuf dan penggantinya Jenderal Benny Moerdani.

Satu hal yang selalu dikenang penerbang senior C-130 Hercules TNI AU ini dari Jenderal Jusuf adalah, kunjungan kerja yang selalu dadakan. Pak Jusuf tidak pernah mengatakan kapan dan kemana akan kunker. Jenderal Jusuf bisa datang sekwaktu-waktu ke Lanud Halim dan kemudian meminta terbang. Kemana tujuannya, tidak ada yang tahu.

Barulah setelah pesawat airborne, Jenderal Jusuf akan mengatakan tujuannya. Itu sebabnya, Iskak pernah melakukan direct flight dari Jambi ke Manado.

Saat akan mendarat, cuaca tidak bersahabat sehingga Iskak menyarankan kepada Panglima untuk mendarat di Makassar. Tapi Jusuf bergeming, tidak setuju. Ia ingin tetap mendarat di Manado. “Sambil melirik saya lihat beliau berdiri sambil bersidekap dan memejamkan mata. Apa yang terjadi, tidak lama kemudian cuaca membaik dan terbuka. Believe it or not,” ucap Iskak.

Sebuah kejadian unik juga pernah dilihat Iskak, menunjukkan sulitnya menduga tindakan yang akan dilakukan Jenderal Jusuf.

Ketika itu Jusuf menegur bintara TNI AU. Panglima menanyakan soal pangkatnya dan kenapa belum naik pangkat. Mungkin simpati, saat itu juga Jusuf memanggil KSAU dan meminta untuk menaikkan pangkat prajurit tadi.

Lain lagi Benny Moerdani. Dalam sebuah kunjungan ke Yogyakarta, Pak Benny mengajak seluruh stafnya termasuk para penerbang untuk makan malam bersama di sebuah restoran.

Saat keberangkatan dari hotel, untuk Pak Benny disiapkan mobil sedan Toyota Mark II yang terkenal saat itu. “Tapi ditolak, beliau minta ganti dengan Corona 2000,” kata Iskak. Pak Benny yang dikenal Iskak adalah seorang jenderal yang tidak mau terlihat menyolok, berpikir simpel dan itu menjadi ciri khasnya.

Lagi-lagi dalam perjalanan ke restoran, Pak Benny tiba-tiba meminta pengemudi membelokkan mobil agar terlepas dari pengawalan.

Sebagai orang intel, Pak Benny memilih meja yang berada paling pojok. Sikap waspada dan tidak ingin terlihat, selalu diperhatikan oleh seorang Benny Moerdani. Mereka menyantap hidangan di satu meja yang sama.

Saat makan, Pak Benny mengatakan kepada stafnya bahwa sepertinya ada yang mengenalinya di restoran itu. Pak Benny sempat melirik beberapa orang yang nyuri pandang ke arahnya. Pak Benny merasa beberapa orang di restoran itu mengenalinya.

“Kita lalu disuruh makan cepat-cepat dan tak lama kemudian kita pergi,” kata Iskak.

Suatu hari saat menjadi Komandan Lanud Adi Sumarmo, Solo, Kolonel Pnb Iskak Karmanto mendapat laporan bahwa Pak Benny akan tiba dengan menumpang pesawat Garuda Indonesia. Selayaknya seorang komandan, Iskak turut menyambut Pak Benny bersama beberapa pejabat ABRI dengan berdiri di bawah tangga pesawat.

“Ngapain kamu di sini,” sapa Benny. Tentu Iskak menjawab bahwa ia menjemput Pak Benny. Sang Jenderal langsung menyela, nggak usah.

“Akhirnya protokol saya bubarkan dan anak-anak saya perintahkan untuk mengawasi dari jauh dan jangan menyolok,” beber Iskak.

Namun sebagai penerbang senior, Iskak Karmanto pernah merasa malu ketika mendaratkan pesawat Hercules agak keras dan ditegur Pak Benny. “Kamu kayak bawa barang saja landing-nya,” tegur Pak Benny. Pada akhirnya, Marsma TNI Iskak Karmanto dipercaya menjadi Komandan Lanud Halim Perdanakusuma (1994—1996).

Di antara perwira TNI AU sudah jadi pengetahuan bersama bahwa menjadi Komandan Lanud Halim Perdanakusuma sangatlah berat. Karena berada di Ibukota, komandan Lanud harus menyalami semua VIP dan VVIP.

Saat itu ada rumusan dari kalangan Istana untuk pakaian ibu-ibu pejabat yang mendampingi. Diminta menyesuaikan dengan pakaian Ibu Tien Soeharto. Kalau Ibu Tien menggunakan kebaya maka disesuaikan.

Nah, suatu hari diinfokan bahwa saat keberangkatan dari Halim, Ibu Tien mengenakan pakaian kain kebaya. Sebagai komandan lanud, Iskak menyambut kedatangan Presiden Soeharto dan Ibu Tien di Halim. Saat Ibu Tien keluar dari mobil, ternyata mengenakan stelan rok sementara istri Iskak mengenakan kain.

Keduanya berusaha menyembunyikan panik dan gagapnya. Seperti Ibu Tien tahu, dan mendekati istri Iskak. “Rapopo Jeung (tidak apa-apa, jeung),” kata Ibu Tien lembut.

Masalah ini sempat sampai ke telinga KSAU. Namun Iskak menjelaskan duduk perkaranya. Iskak Karmanto juga tidak lupa momen saat menyambut Pak Harto usai memancing di Pulau Seribu. “Pak Harto turun dari heli lalu panggil saya, sini tak kasih ikan,” kenang mantan Komandan Koharmatau periode 1999-2000 ini. 

Saat mengikuti pendidikan Sekkau di Halim, Kapten Pnb Iskak Karmanto pun masih diminta menerbangkan C-130 Hercules untuk memeriahkan HUT ABRI di Banten.

Saat itu Panglima ABRI Jenderal M. Jusuf memerintahkan penerjunan pasukan Linud di Banten melibatkan sekitar 10 pesawat Hercules. Meski berstatus siswa Sekkau, perintah tetap dilaksanakannya. Tentu saja dengan penugasan ini, Iskak tidak bisa mengikuti kelas di Sekkau.

Setelah kembali ke Sekkau, ia sampai ditegur Dankorsis yang mengatakan, kamu tidak akan lulus karena sering tidak masuk dan tidak mengikuti ujian. Iskak berusaha menjelaskan bahwa ia hanya melaksanakan perintah. Namun pada akhirnya, Iskak tetap lulus.

Bahkan sebulan usai Sekkau, ia sudah mendapat kenaikan pangkat menjadi mayor.

Menurut Iskak Karmanto, ada dua hal yang menjadi kemiripan antara Jenderal M. Jusuf dengan Jenderal Benny Moerdani, yaitu perlakuan terhadap kru pesawat yang menerbangkannya. Sepanjang pengalaman Iskak, kemanapun ia membawa Pak Jusuf dan Pak Benny, selalu kru pesawat diinapkan di kamar yang berdekatan dengan sang jenderal.

Share.

About Author

Being a journalist since 1996 specifically in the field of aviation and military

Leave A Reply