Tidak Sampai Satu Jam, SEAL Team 6 dan Green Beret Berhasil Evakuasi 70 Warga AS di Sudan

0

MYLESAT.COM – Perang saudara di Sudan membuat sejumlah negara memutuskan untuk mengevakuasi warga negaranya, tak terkecuali Indonesia. Amerika Serikat, juga negara-negara Eropa, mengirimkan tim operasi khusus yang berhasil mengevakuasi seluruh staf Kedutaan Besar AS dari ibu kota Sudan, Khartoum pada Sabtu, 15 April 2023.

Evaluasi yang berlangsung malam hari itu cukup dramatis. Berlangsung senyap, bersih, dan cepat. Meminjam istilah Letjen D.A Sims, Direktur Operasi di Joint Staff J3, melukiskan operasi sebagai fast and clean.

“Tim berada di dalam komplek kedutaan (embassy compound) kurang dari dari satu jam,” ujarnya menjelaskan seperti dikutip USA Today.

Dalam misi evakuasi ini, militer AS menerbangkan warganya dengan helikopter pada malam hari ke pangkalan militer di Djibouti. Seluruh staf yang berjumlah 70 orang dilaporkan selamat.

Sebelum misi dilaksanakan, Pentagon telah menempatkan lebih banyak pasukan dalam beberapa hari terakhir di Djibouti. Namun, dengan bandara di ibu kota rusak parah akibat penembakan dan koridor darat menuju Port Sudan yang jaraknya lebih dari 500 mil dianggap terlalu berisiko, evakuasi terbatas melalui jalur udara dipandang sebagai pilihan terbaik.

Para staf diplomatik menaiki tiga helikopter MH-47 Chinook yang didaratkan di zona pendaratan di dalam kedutaan dan diterbangkan ke luar negeri.

Pejabat AS lainnya yang tidak mau disebutkan namanya menyampaikan kepada wartawan bahwa misi evakuasi ini juga melibatkan V-22 Osprey.

Untuk misi yang sangat berbahaya di daerah konflik ini, Pentagon mengirimkan sekitar 100 anggota SEAL Team Six Angkatan Laut AS dan 3rd Special Forces Group (Green Beret) Angkatan Darat AS.

3rd Special Forces Group bertanggung jawab atas operasi dalam area tanggung jawab AFRICOM, sebagai bagian dari Komando Operasi Khusus Afrika (SOCAFRICA). Area operasi (AO) utamanya sekarang adalah Afrika. Namun, Grup ke-3 juga terlibat di Karibia dan Timur Tengah Raya. Grup ini bermarkas di Fort Bragg, AS.

Seperti diketahui, Sudan dilanda perang sudara di antara dua faksi yang berebut kekuasaan. Pembicaraan gencatan senjata antara faksi-faksi militer yang berseteru di Sudan gagal. Perebutan kekuasaan yang sengit terjadi antara militer Sudan dipimpin Jenderal Abdel-Fattah Burhan, dan Rapid Support Forces (RSF) dipimpin Jenderal Mohammed Hamdan Dagalo.

Militer bertanggung jawab atas Sudan, tetapi RSF menginginkan peran lebih kuat dalam menjalankan negara. Kedua faksi ini telah bertikai ketika warga sipil Sudan menuntut pemerintahan yang demokratis.

Lebih dari 400 orang telah terbunuh sejak 15 April, menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Negara-negara Barat lainnya, termasuk Inggris, Perancis, Jerman dan Italia telah mengungsikan ratusan orang.

Evakuasi Warga AS

Evakuasi warga AS dimulai pada pukul 9 pagi waktu Timur, atau pukul 3 sore di Khartoum, ketika tiga helikopter MH-47 Chinook meninggalkan Djibouti dan mendarat di Ethiopia untuk mengisi bahan bakar. Helikopter militer itu kemudian terbang sekitar tiga jam di ketinggian rendah dalam kegelapan dengan kecepatan sekitar 115 mph untuk mencapai Khartoum.

Penerbangan malam seperti ini sangat berisiko tinggi. Meskipun kru sudah dilengkapi alat pandang malam (NVG), tetap saja potensi kecelakaan maupun tertembak sangat tinggi. Kita bisa membaca banyak musibah dialami militer AS dalam misi seperti ini.

Dilaporkan helikopter tidak mendapatkan tembakan dari pihak oposisi. Sehingga Chinook bisa mendarat dengan selamat di kedutaan dan membawa staf kedutaan malam itu juga ke pangkalan angkatan laut Camp Lemonnier di Djibouti. Mereka kemudian dibawa ke Pangkalan Angkatan Udara Ramstein di Jerman.

Marinir AS yang melindungi kedutaan juga dievakuasi. Meskipun semua personel pemerintah AS telah pergi, sejumlah staf lokal yang tidak disebutkan jumlahnya akan tetap tinggal sebagai penjaga kedutaan.

Menurut kedutaan, sekitar 16.000 warga negara AS secara pribadi menetap di Sudan. Jumlah total tidak pasti karena tidak semua warga AS mendaftarkan diri atau memberi tahu kedutaan ketika mereka berangkat.

Ketua Komite Intelijen Senat Mark Warner mengatakan, sebagian besar dari ribuan warga AS yang masih berada di Sudan adalah pekerja bantuan atau warga Amerika keturunan Sudan. Dia mengatakan bahwa mereka perlu “berlindung di tempat”, sementara AS bekerja sama dengan mitra internasional untuk mengatur cara yang aman untuk mengeluarkan mereka, mungkin melalui koridor darat.

Sejauh ini, kekerasan telah melumpuhkan bandara-bandara Sudan, menghancurkan pesawat-pesawat sipil dan merusak landasan pacu. Pejabat AS mengatakan bahwa pihaknya ingin berbagi informasi dengan negara-negara lain mengenai kondisi keamanan dan rute pelarian.

AS telah mengirimkan aset intelijen ke Sudan untuk membantu mereka yang melakukan perjalanan darat dari Khartoum ke Pelabuhan Sudan.

Efek Domino

Dikutip BBC News yang mewawancarai Philip Ingram, berdinas di Angkatan Darat Inggris selama lebih dari 26 tahun dan telah bekerja sebagai perencana militer dan perwira intelijen, diperlukan beberapa perencanaan dalam misi evakuasi.

Philip Ingram kerap berkeliling dunia bersama staf Kementerian Pertahanan dan Kementerian Luar Negeri Inggris untuk mengunjungi kedutaan besar Inggris di seluruh dunia guna mendiskusikan rencana evakuasi.

Menurutnya, personel harus terus berlatih dan menyempurnakan jenis operasi ini. Risiko menggunakan personel militer untuk mengevakuasi orang-orang dari zona perang “tidak dapat diremehkan”. Ia menambahkan bahwa operasi evakuasi adalah pilihan terakhir.

Militer Perancis mengevakuasi warga negaranya pada hari Minggu.

Operasi seperti ini tidak boleh dilakukan tanpa berkonsultasi dengan negara-negara lainnya yang mungkin juga ingin mengevakuasi staf mereka dari tempat itu.

Amerika Serikat dan Inggris mengumumkan pada hari Minggu bahwa mereka telah menerbangkan diplomatnya keluar dari negara tersebut. Sementara Perancis, Jerman, Italia dan Spanyol juga telah mengevakuasi para diplomat dan warganya.

Negara-negara akan sering bekerja sama dalam apa yang dikenal sebagai kelompok koordinasi operasi non-combatant evacuation operation (NEO) untuk melakukan evakuasi bersama.

“Jika satu negara mengekstraksi stafnya tanpa berkonsultasi dengan mitra internasional, hal ini dapat membuat diplomat lain berisiko lebih besar untuk menjadi sasaran,” jelasnya.

Evakuasi mendadak oleh satu negara dapat menyebabkan efek domino, yang berarti bahwa faksi-faksi yang bertikai dapat melihat mereka yang tetap tinggal sebagai target atau sandera potensial.

“Salah satu bagian penting dari hal ini adalah efek kejutan (surprise): masuk dan keluar dengan cepat (to get in and get out quickly) sebelum faksi-faksi yang bertikai dapat bereaksi dengan baik.”

Ketika pasukan militer tiba, para pengungsi akan dipanggil ke kedutaan atau titik kumpul terpusat lainnya. Setelah berkumpul, mereka akan dimasukkan ke dalam kendaraan dan dibawa ke “titik ekstraksi” secara rahasia. Dalam kasus ini, ia mengatakan bahwa hal ini dilakukan dengan hampir sempurna.

BBC mengetahui bahwa diplomat Inggris dan keluarga mereka diterbangkan dengan pesawat militer dari pangkalan udara Wadi Seidna di Sudan dalam sebuah misi evakuasi dipimpin oleh SAS (Special Air Service) pada hari Minggu.

Share.

About Author

Being a journalist since 1996 specifically in the field of aviation and military

Leave A Reply