MYLESAT.COM – Para penerbang Garuda Indonesia pernah menjadi bagian dari operasi militer di tanah air sejak akhir 1950. Mereka dimobilisasi menjalani dinas militer di AURI (TNI AU), diberi pangkat dan melaksanakan misi tempur. Namun dalam beberapa misi, para pilot GIA harus hati-hati seperti saat terbang formasi.
Ketika Pemerintah Indonesia mencanangkan Operasi Tri Komando Rakyat (Trikora) untuk membebaskan Irian Barat dari Belanda pada 1962, pesawat berserta kru yang dilibatkan tidak semuanya dari AURI. Banyak di antara mereka yang dimobilisasi dari penerbang sipil Garuda Indonesia Airways.
Dalam situasi perang itu, Komando Mandala (KOLA) membentuk Wing Garuda (WG) dan Wing Garuda 011 (WG 011) yang merupakan bala cadangan udara untuk mendukung AURI.
Tugas utama WG dan WG 011 adalah melaksanakan penerbangan penyusupan, penerjunan sukarelawan dan pasukan tempur, angkutan logistik, komando kendali udara, pelacak cuaca, angkut personel serta SAR.
Untuk melaksanakan misi berbahaya ini, WG dan WG 011 menggunakan beberapa pesawat seperti DC-3 Dakota. Dalam setiap penerbangannya para pilot WG dan WG 011 akan menghadapi risiko dihadang pesawat tempur Belanda.
Sebelumnya dalam operasi menghadapi pemberontak PRRI di Sumatera dan Permesta di Sulawesi, pilot GIA juga sudah dilibatkan.
Lebih dari 80 airmen GIA bersama tujuh pesawat Dakota sejak 13 Maret 1958 diperbantukan kepada AURI untuk melaksanakan tugas penerbangan operasi menumpas pemberontak PRRI dan Permesta di Sumatera dan Sulawesi.
Para penerbang dan lebih dari 60 teknisi serta juru radio itu diharuskan mengenakan seragam militer, mengenakan brevet dan pangkat Angkatan Udara. Para captain pilot diberi pangkat perwira Letnan Udara I Penerbang (Tituler), kopilotnya Letnan Udara II Penerbang (Tituler). Sementara teknisi dan juru radio diberi pangkat bintara. Pangkat lebih tinggi diberikan kepada para komandannya dari kapten sampai kolonel.
Kepala Staf Angkatan Udara (KSAU) Laksamana Muda Udara Suryadarma menetapkan mereka ditempatkan dalam satuan Wing Garuda dan berlaku sejak 13 Maret 1958.
Dalam kesepakatan AURI dan GIA, para pilot masing-masing menjalani tugas militer selama seminggu dan bisa lebih serta berulangkali selama masih diperlukan.
Bila gugur dalam tugas, pihak GIA akan memberikan santunan kepada keluarganya sebesar Rp 300.000 (tigaratus ribu rupiah), sebuah jumlah yang cukup besar waktu itu. Sebagai perbandingan, gaji captain pilot GIA kala itu antara Rp 10.000 – 15.000 dan gaji pegawai negeri masih di bawah Rp 3.000.
Bertepatan dengan hari jadi Wing Garuda, 13 Maret 1958, muncul perintah pertama untuk melakukan penerbangan operasi Jakarta-Pekanbaru. Sepuluh pesawat Dakota disiapkan di lapangan terbang Halim Perdanakusuma, Jakarta, yang terdiri tiga Dakota AURI dan tujuh Dakota GIA membawa pasukan tempur.
Ke-10 pesawat lepas landas secara berurutan dan kemudian diharuskan terbang dalam formasi menuju lapangan terbang Simpangtiga, Pekanbaru. Setiap pesawat membawa 20 pasukan bersenjata lengkap untuk memberikan perkuatan di pangkalan udara yang baru saja direbut dari pemberontak PRRI.
“Terbang formasi menjadi pekerjaan yang sulit bagi para pilot Wing Garuda. Kami belum pernah melakukannya. Untuk keamanan terbang, saya mengambil jarak agak jauh dari pesawat lainnya,” kenang Letnan Udara I Penerbang (Tituler) Roekanto Djokomono yang menerbangkan satu dari 10 pesawat bersama kopilot Letnan Udara II Penerbang (Tituler) Amir Sukerni.
Groundloop
Tugas berikutnya adalah terbang ke Pekanbaru-Padang dan kembali ke Jakarta. Penerbangannya tidak masalah. Hanya pada waktu mendarat di lapangan terbang Tabing, Padang, harus dilakukan ekstra hati-hati.
Di landasan pacu itu sebelumnya disebar paku-paku berkaki empat oleh gerombolan PRRI untuk menghambat pendaratan pesawat maupun penerjunan pasukan.
Meskipun telah dibersihkan, masih ada beberapa yang tertinggal di tengah landasan pacu. Bila paku itu menusuk ban pesawat, dipastikan tidak dapat melanjutkan penerbangan.
Dalam penerbangan kembali ke Jakarta ikut serta di pesawat Mayor Laut Soedomo, yang kala itu menjabat komandan kapal perang KRI Gajah Mada dan sejumlah perwira TNI. Kapal yang dipimpinnya saat itu sedang siaga di laut kawasan Sumatera Barat.
“Captain, setelah lepas landas tolong jangan belok ke arah laut. Nanti pesawat kita ditembak KRI Gajah Mada.” Itulah permintaan Pak Domo kepada Roekanto selaku captain pilot Dakota.
Larangan belok ke arah laut sebenarnya menyalahi prosedur penerbangan GIA yang merupakan rute paling aman untuk mencapai ketinggian tanpa harus melalui Bukit Barisan. Permintaan itu dipenuhi dengan pertimbangan daripada ditembak.
Saat pesawat mencapai ketinggian cruising speed, Pak Soedomo masuk ke kokpit dan duduk di kursi kopilot menggantikan Letnan Amir yang pindah ke kabin. Sedang asyik ngobrol, tiba-tiba alat pengukur tekanan hidrolik di dasbor tepat di depan kursi kopilot yang diduduki Pak Domo, menunjuk angka nol.
“Pak ada hydraulic failure, karena minyak hidrolik bocor dan habis. Untuk itu mohon bapak ke kabin dan kopilot akan kembali membantu saya.”
“Apa yang akan captain lakukan,” tanya Pak Domo.
Roekanto menjelaskan bahwa rem pesawat dipastikan tidak berfungsi, sehingga pendaratan di Halim harus dilakukan dengan cara ground loop.
Mendarat di pangkalan udara Halim Perdanakusuma, Jakarta, berjalan dengan mulus dan ancang-ancang untuk melakukan putaran ground loop. Pesawat dibawa ke pinggir kiri dan saat hampir mendekati ujung landasan lantas dibelokkan 180 derajat dan pesawat pun berhenti dengan menghadap ke arah yang berlawanan.
Hampir semua penumpang bertanya-tanya apa yang terjadi. Kecuali Mayor Laut Soedomo yang sudah mengetahui sejak di atas Palembang.
Lolos Sergapan Allan Pope
Hari itu 6 Juli 1958, Captain Roekanto Djokomono dan kopilot Letnan Roestamadji, keduanya dari Wing Garuda, mendapat perintah terbang ke Banjarmasin dan Balikpapan. Misinya mengantar Kolonel Roekminto, Komandan Operasi Sapta Marga dan sejumlah perwira TNI dari Banjarmasin ke Balikpapan.
“Kolonel, pesawat sudah siap untuk berangkat ke Balikpapan,” Letnan I Roekanto Djokomono lapor kesiapan pesawat tepat pukul 08.00. “Tunggu sebentar, saya mau sarapan dulu,” jawab kolonel. Ternyata sarapannya memakan waktu 40 menit sehingga lepas landas mendekati pukul sembilan pagi.
Mendekati lapangan udara Sepinggan, Balikpapan, terdengar di radio suara dua captain Dakota yang di Sepinggan minta izin untuk lepas landas bersamaan. Mereka adalah captain Sukamto dan captain Kuntjoro.
Dari ketinggian terlihat kedua Dakota itu sedang melakukan taxi, masing-masing menuju ujung landasan yang berbeda. Tidak lama tampak mereka lepas landas bersamaan waktu dari ujung yang berbeda dan keduanya segera mengambil arah ke Banjarmasin.
“Roekanto, jangan mendarat. Kembali saja ke Banjarmasin. Kami berdua di Sepinggan baru saja diserang B-25 Permesta (Allan Pope),” terdengar suara captain Kuntjoro meminta Roekanto membatalkan mendarat di Balikpapan.
Namun tidak ada perintah dari Kolonel Roekminto untuk membatalkan pendaratan di Sepinggan. Pesawat tetap mendarat. “Begitu rombongan turun semua, secepatnya Dakota saya bawa terbang lagi menuju Banjarmasin, khawatir B-25 Allan Pope kembali lagi.”
Di Banjarmasin ketakutan itu berubah menjadi humor. Karena ternyata Dakota rombongan komandan operasi Sapta Marga itu sewaktu akan mendarat di Sepinggan, senjata penangkis serangan udara di pangkalan itu telah mengarahkan larasnya dan mengikuti gerak pesawat siap ditembak.
Dakota yang ditumpangi Kolonel Roekminto dikira B-25 Permesta yang datang kembali. Untung senjata itu macet tidak bisa ditembakkan.
“Untung juga sarapan Kolonel Roekminto di Banjarmasin lama, sehingga kita terhindar bertemu B-25 Permesta. Seandainya tidak sarapan dulu, dipastikan Dakota kita menjadi makanan empuk Allan Pope yang tampaknya sudah tahu rencana kedatangan Komandan Operasi Sapta Marga itu sebelumnya,” kata Roekanto.
Goblok Semua
“Verdomme, klieren bij elkaar, kurang ajar, goblok semua.” Itulah gerutu Komodor Udara Leo Wattimena dalam penerbangan rahasia pesawat Convair 340 yang dipiloti Kapten Udara Penerbang (Tituler) Pratowo dan kopilot Letnan Udara Penerbang (Tituler) Oediyono.
Di pesawat Convair 340 GIA yang merupakan pesawat komando (headquarter plane) itu para pemimpin KOLA berada di dalamnya.
Operasi ini untuk merebut kembali Irian Barat dari penjajah Belanda. Disamping Leo Wattimena ada juga Jenderal Suharto sebagai panglima operasi Mandala.
Leo Wattimena saat itu sangat kecewa, ketika alat komunikasi pesawat tidak bisa menghubungi Radar Bula di selatan Pulau Ceram. Penerbangan rahasia tengah malam itu terpaksa gagal dan kembali ke Ambon dengan terbirit-birit karena dikejar pesawat Neptune Belanda.
Penerbangan pesawat penumpang Covair 340 yang diubah menjadi pesawat komando itu diklasifikasikan rahasia. Captain pilot dan kopilot pun tidak mengetahui tugas apa sebenarnya hari itu.
Setelah sejumlah kursi dicopot dan hanya disisakan delapan buah saja, diganti dengan meja-meja besar yang di atasnya ada beberapa peta Nusa Tenggara, Maluku, dan Irian Barat. Pesawat Convair itu ditambah alat komunikasi yang canggih.
Acara mengubah kabin pesawat itu dipimpin oleh The Tjing Hoo, perwira AURI brilian alumni TALOA. Dalam briefing pagi di lapangan terbang Halim Perdanakusuma, Jakarta, seorang perwira menengah AURI mengatakan, pesawat harus sudah di pangkalan udara Pattimura, Ambon pada pukul 15.00 waktu setempat. Perintah selanjutnya akan diberikan di Ambon.
Sebelum take off, kepada para awak pesawat dibagikan senjata laras panjang dan sejumlah peluru untuk jaga-jaga, kata orang yang memberikannya. Sewaktu menerima senjata itu, mereka berpikir bagaimana menggunakannya karena belum pernah menembak.
Terbang Malam
Perintah berikutnya di Ambon, pesawat lepas landas tepat pukul 00.00 waktu setempat, menyusuri Pulau Ceram sampai ujung timur pulau itu, ganti arah ke selatan ke arah Marauke. Di atas Bula, pesawat harus menghubungi radar Bula dengan frekuensi rahasia dan pesawat kembali ke Pattimura, Ambon.
Diperkirakan operasi penerbangan rahasia pesawat Convair komando itu adalah tiga jam.
Ketika pesawat berada pada ketinggian jelajah 12.000 kaki, terbang ke arah utara untuk mencari pantai utara pulau Ceram, tiba-tiba seseorang masuk kokpit dan berkata. “Captain, jangan terlalu ke utara, karena di sekitar pulau Misool banyak pesawat Belanda.”
Sesuai perintah, pesawat mencapai ujung Pulau Ceram dan mengubah arah ke Bula. Di atas Bula itulah Leo Wattimena marah besar karena ternyata alat komunikasi tidak berfungsi.
“Siapa yang memasang (radio), goblok semua. Kembali ke ujung Ceram,“ perintah Leo setelah terbang setengah jam ke selatan.
Di daerah itu pesawat berputar-putar, holding, sambil menghubungi pangkalan Pattimura. Namun yang terdengar adalah suara berisik orang Belanda sedang berbicara. “Return to base, pesawat Belanda dekat dengan kita. Turun ke ketinggian sampai 1.000 kaki di atas obstacle tertinggi,” perintah Leo lagi.
Pukul 02.30 dini hari, Convair headquater plane mendarat dengan selamat di Ambon. Siang hari itu juga Convair komando kembali ke Jakarta.
Di pangkalan Halim Perdanakusuma ada Roesmin Nurjadin yang menyalami awak pesawat. “Anda semua telah menyelamatkan para pemimpin operasi Mandala dari interception pesawat Belanda. Selamat,” ujar Pak Roesmin sambil memberikan salam. (Pernah dimuat Majalah Angkasa)