MYLESAT.COM – KSAU Marsekal TNI Fadjar Prasetyo baru saja meresmikan Lanud Ignatius (IG) Dewanto di Kabupaten Saumlaki, Kepulauan Tanimbar, Maluku Tenggara. Mendapat kehormatan sebagai komandan pertama Letkol Pas Yohanes Moses P., S.Pd, alumni Perwira Karier (PK) 2000 dan pernah menjadi komandan Detasemen Matra 1 Paskhas. Lalu, siapakah IG Dewanto?
Baca Juga:
- KSAU Resmikan 3 Satuan Jajaran TNI AU, Salah Satunya Lanud IG Dewanto di Saumlaki
- Belanda Baru Tahu, P-51 Mustang yang Diterbangkan LU I Wardojo Ternyata Lolos dari Tembakan
- Akal-akalan Leo Wattimena Tipu Belanda Agar Hercules Bisa Mendarat di Merauke
“Perasaan Ibu sangat bersyukur dan terharu sekali. Bahwasanya pimpinan TNI AU dengan Kepala Staf Angkatan Udara, Bapak Marsekal TNI Fajar Prasetyo telah mengabadikan nama suami. Tak terbayang bagaimana waktu bapak berjuang di udara melawan Allan Pope. Bagaimana apabila waktu itu tidak tertembak,” tutur Anastasia Meitie Dewanto (85) mengungkapkan perasaannya kepada mylesat.com.
“Tuhan maha pemurah dan kami sungguh bersyukur kepada TNI Angkatan Udara yang mengabadikan nama beliau almarhum dimanapun. Kami dan keluarga sungguh terharu dan bangga,” tambah Meitie lagi.
Dewanto adalah legenda. Dialah satu-satunya fighter (penerbang tempur) Indonesia yang pernah menembak jatuh pesawat musuh. Profil Dewanto cukup banyak diketahui publik, yang awalnya dipublikasikan melalui Majalah Angkasa.
Namun dengan diabadikannya namanya di Lanud TNI AU, tidak ada salahnya kita mengenang kembali sepak terjang Dewanto sebagai penerbang tempur AURI. Pria yang oleh Presiden Soekarno dipanggil “Wedono” karena memelihara kumis melintang.
Saya bersyukur bisa bertemu Ibu Meitie Dewanto di kediaman putrinya di kawasan Pondok Indah pada tahun 2015.
Seingat Meitie, suaminya mulai memelihara kumis setelah mereka menikah pada 18 Juni 1958 di Bandung. “Kowe jane dadi wedono,” kenang Meitie menirukan ucapan Bung Karno.
Dalam catatan Angkasa, seperti dituturkan Marsdya (Pur) Omar Dhani, peristiwa ini bermula saat ia mengajak Komodor Udara (Marsekal Pertama) Ign Dewanto menemui Bung Karno. Saat itu Omar Dhani baru saja menjadi Deputi Menteri/Pangau Urusan Operasi (diangkat 1 Juli 1965) merangkap Direktur Intelijen menggantikan Marsda Sri Mulyono Herlambang.
Melihat perwira di depannya, Bung Karno langsung berkomentar. “Rupamu kok seperti wedono di Jawa Timur.” Bung Karno sepertinya geli melihat kumis Dewanto yang tebal, dipelintir hingga mencuat.
Meitie tinggal di Jalan Setiabudi, Bandung dan kuliah di Fakultas Kedokteran ITB. Ia mengenal Dewanto dalam sebuah acara ulang tahun yang digelar Santoso (penerbang AURI) yang menikah dengan wanita Belanda.
Namun tidak mudah bagi sang ibu melepas putrinya pergi malam-malam jika tidak ada yang menjemputnya. Lalu datanglah Dewanto bersama Gunadi menjemput.
Perkenalan malam itu berlanjut dengan hubungan asmara selama dua tahun, sebelum akhirnya menikah. Karena pernikahan ini, Meitie memilih berhenti kuliah yang sudah semester dua.
Setahun kemudian lahir anak pertama pasangan ini yang diberi nama Gina Dewanto Alamsyah, yang kemudian disusul I. Totok Dewanta, A. Nita de Britto, I. Karbol Dewanta, dan I. Oscar Dewanta. Dua anak terakhir merupakan kembar.
Mata Meitie menerawang, seperti berusaha mengumpulkan remah-remah kenangannya bersama laki-laki kelahiran Kalasan, Yogyakarta, 9 Agustus 1929 dari pasangan penganut Katolik yang taat, M. Marjahardjana dan Theresia Sutijem.
“Setiap kali datang ke Bandung, dia selalu terbang rendah di atas rumah kami lalu membuat loop, orang-orang sudah tahu itu pasti boy friend Meitie,” ucapnya.
Menurut Meitie, kalau tidak pakai P-51 Mustang ya pakai AT-6 Harvard. Bahkan Dewanto pernah terbang di antara kawat listrik di daerah Lembang. Meitie yang khawatir, menegurnya.
Setelah menikah, Meitie pernah joy flight pesawat jet pertama TNI AU, DH-115 Vampire yang diterbangkan sendiri oleh Dewanto di langit Jakarta.
Dewanto yang tahu istrinya pemberani, membuat manuver inverted (pesawat posisi terbalik). Lalu dia bertanya kepada sang istri. “Coba tebak, Jakarta ada di mana?” Meitie dengan enteng menjawab, ya di bawah, sambil menunjukkan jarinya ke atas, tanpa sadar bahwa arah telunjuknya adalah ke langit. Setelah dijelaskan Dewanto baru dia sadar bahwa pesawat dalam posisi terbalik.
I got you
Persis sebulan sebelumnya, 18 Mei 1958, Kapten Ign Dewanto menerbangkan pemburu P-51 Mustang untuk menyerang pangkalan udara Aurev (Angkatan Udara Revolusioner) milik Permesta di Sulawesi Utara.
Beberapa saat sebelum take off, sebuah berita memaksanya membatalkan serangan ke Manado dan harus mengarahkan pesawat ke Ambon. Sebuah pembom B-26 Invader mengamuk di atas Kota Ambon. Perintah berubah, Dewanto harus mencari pesawat biadab itu.
Dia berputar sejenak sebelum heading to west dan melepas ferry tank untuk menambah kelincahan. Mustang dibawanya merendah sebelum akhirnya melihat sekelebat B-26.
Sebuah kapal perang KRI Sawega terlihat di kejauhan, yang pasti jadi incaran B-26.
Dewanto menambah kecepatan dan mendapat posisi terbaik di belakang incarannya. Tanpa ragu ia lepaskan roket, namun semua luput. Tidak mau kehilangan sedetikpun, proyektil kaliber 12,7mm melesat dari Mustang, dan kali ini tally ho, disusul kepulan asap dari ekor B-26.
Dua parasut mengembang dari pesawat yang jatuh di laut. Prajurit KKO yang berada di atas Sawega segera turun dan mengejar dengan perahu karet.
Mereka menemukan kedua orang itu, yang setelah memeriksa identitasnya diketahui berkebangsaan Amerika Serikat dengan nama Allan Lawrence Pope. Seorang lagi, berdasarkan dokumen yang dibawa, bernama Pedro kelahiran Davao, Filipina, 1930. Namun setelah diinterogasi ternyata Harry Rantung, kopral AURI di Pangkalan Morotai yang bergabung dengan Permesta.
Meitie tidak tahu apa yang terjadi di Ambon, karena memang Dewanto tidak pernah menceritakan apapun yang dia lakukan terkait tugasnya di AURI.
Sampai sudah menikah pun, Dewanto tidak pernah menceritakan apa yang terjadi di Ambon. Meitie hanya mengikuti dan mendoakan keselamatan suaminya yang menjadi saksi dalam persidangan Allan Pope di Jakarta. Ia dilarang Dewanto menghadiri persidangan.
Sampai pada suatu hari, Dewanto menceritakan kepada istrinya sesuatu yang tidak pernah diucapkannya selama persidangan Pope. Memang Pope bilang hanya Dewanto yang menembaknya. Kepada Meitie, Dewanto menceritakan bahwa sebagai fighter ia harus mencari posisi di belakang agar bisa menembak dengan baik.
“Saat tembakan terakhir, ia bilang I got you (kena kamu), ucapan ini tidak pernah ia sampaikan selama persidangan. Dia tidak mau terkesan sombong dan tidak mau dianggap paling hebat dalam misi itu,” beber Meitie.
Meski mendukung suami, Meitie tidak pernah mengumbar cerita ini kepada siapapun, terutama soal perkataan I got you. Dewanto di mata Meitie sosok low profile, humble namun disiplin.
Dari crash site pesawat B-26, sejumlah barang bukti diambil dan di antaranya parasut, dihadirkan selama persidangan. Setelah persidangan selesai dan Pope dipulangkan ke Amerika, barang bukti dibagi di antara ALRI dan AURI.
Menurut Meitie yang sudah solo terbang layang dan pernah latihan terjun statis di Halim Perdanakusuma, ban pesawat diambil ALRI sedangkan AURI kebagian parasut yang disimpan di museum TNI AU di Yogyakarta.
Sejak lama, Meitie sudah melihat sebuah kursi besi asing di rumah mereka di Yogyakarta maupun Jakarta. Ke mana sang suami pindah, kursi itu selalu dibawa. Sampai ketika Dewanto ditugaskan sebagai Atase Udara di Moskwa (1966) menggantikan Rusmin Nurjadin, kursi itu dititipkan di rumah orang tua Meitie di Yogyakarta. Termasuk foto-foto Dewanto yang hilang dicuri orang.
Bagaimana ceritanya kursi yang ternyata berasal dari pembom B-26 Allan Pope ini sampai jatuh ke tangan Dewanto? Meitie tidak tahu pasti. Bagaimana caranya Dewanto bisa memperoleh kursi itu, atau kenapa kursi itu tidak dihadirkan dalam persidangan, hanya Dewanto yang bisa menjawabnya.
“Setiap kali ke Yogya, kami selalu lihat kursi itu namun tidak terpikir bahwa itu it’s government own. Sejak anak-anak mulai besar, saudara saya yang pensiunan kolonel AL mengusulkan supaya kursi itu diserahkan ke TNI AU dan ditaruh di museum supaya memberikan semangat kepada penerbang muda dan generasi muda yang tertarik sejarah TNI AU,” ujarnya.
Atas dasar itulah, Meitie menyerahkan kursi yang menyimpan sejarah penuh kebanggaan TNI AU dan Dewanto khususnya sebagai penerbang tempur, kepada Kepala Museum Pusat TNI AU Dirgantara Mandala, Yogayakarta, Kolonel Sus Drs. Sudarno pada 16 September 2015.
Saat penyerahan, Meitie menyampaikan harapannya semoga kursi yang terkesan tidak berharga ini bisa menjadi bukti sejarah untuk disimak dan dipelajari generasi muda.