Betul kata orang bijak, dunia hanya selebar daun kelor. Terkadang hal-hal tak terduga bisa terjadi begitu saja, termasuk bertemu teman lama yang akan membangkitkan kenangan saat-saat kebersamaan.
Pertemuan yang tak direncanakan itulah yang terjadi di antara Kapuspen TNI Mayjen TNI MS Fadhilah dengan Serda Fernando Dos Santos di The Shalimar Boutique Hotel di Malang, Jawa Timur, Sabtu (24/2/2018).
Pagi itu, mylesat.com menemani Mayjen Fadhilah dan Pangdam V Brawijaya Mayjen TNI Arif Rahman ngopi pagi di lobi hotel sembari menunggu Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto yang akan memberikan orasi ilmiah dalam wisuda sarjana Universitas Muhammadiyah Malang.
Lagi asyik ngobrol itu, tiba-tiba dari sisi kiri, sekitar lima meteran, seorang bintara memberi hormat dengan sikap sempurna. “Selamat pagi komandan,” ujar bintara itu.
Kapuspen yang diberi hormat, langsung berdiri dan menghampiri sambil memanggil namanya. “Fernando, apa kabar, di mana kamu sekarang,” ucap Fadhilah hangat.
Hangat sekali pertemuan keduanya. Fernando juga terlihat begitu bahagia, terpancar dari raut mukanya. Keduanya pun larut dalam kenangan saat masih sama-sama bertugas di Batalyon Infanteri Lintas Udara (Yonif Linud) 502 Divisi Infanteri II Kostrad yang memang berada di Malang.
Terutama saat Yonif Linuf 502 dikirim ke Timor Timur tahun 1991. Lettu Inf Fadhilah yang saat itu menjabat komandan peleton di Kompi B, banyak meninggalkan kenangan bagi Fernando. Khususnya soal sepeda.
“Kami orang Timor bertujuh, punya kenangan tersendiri dengan Pak Fadhilah karena bisa naik sepeda setelah belajar dengan sepeda punya Pak Fadhilah,” kenang Fernando haru dan bangga.
Waktu itu, katanya, ia dan enam rekannya dari Timor terpacu untuk bisa memakai sepeda karena sering disuruh beli rokok. “Karena kami prajurit kan suka disuruh beli rokok, kalau jalan kan lama, malah nanti kalau kelamaan bisa-bisa habis beli rokok disuruh push up. Jadi kami termotivasi belajar naik sepeda,” tutur Fernando.
Menurut Fernando, “kendaraan operasional” Lettu Fadhilah ini adalah sepeda pancal bagus dan model sport. Masih menurutnya, tak sekali-dua kali ia dan teman-temannya terjatuh saat belajar sepeda.
“Kalau sudah jatuh kami takut direndam. Kami biasanya ngintip dari barak, kalau Danton panggil pasti kami ditindak. Tapi kalau Pak Fadhilah langsung naik sepedanya berarti aman,” katanya tertawa. “Kalau Danki pakai Land Rover,” ujarnya senyum.

Serda Fernando Dos Santos. Foto: beny adrian
Peleton yang dipimpin Lettu Fadhilah ini juga istimewa. Semua anggotanya orang luar Jawa yang umumnya dari Timor dan Ambon. “Kami satu kompi khusus orang luar Jawa, tim Oramil (olahraga militer). Danton beliau, anggotanya orang Ambon dan Timor,” jelas Fernando bangga.
Dengan masuknya pemuda-pemuda asal Timor ini, khususnya di tim Oramil Brigif 18 Kostrad, terbukti langsung menggeser Brigif 17 yang selama itu berjaya di singgasana juara dalam setiap Lomba Peleton Tangkas Kostrad. “Nama 502 sampai sekarang baik, hebat,” celetuk Fadhilah.
Ditambahkan Fadhilah, hubungan mereka saat itu di antara perwira, bintara, dan tamtama di batalion sangatlah akrab dan menyatu. “Kami kompak sekali,” jelas Fadhilah.
Bahkan Fadhilah sebagai perwira muda, pun tidak segan-segan untuk berguru kepada bintara senior yang sudah kenyang asam garam di medan operasi. Seperti Mayor (Pur) Nyoto yang dikenal disiplin dan galak.
Fernando lahir di Maliana pada 4 April 1972 sebagai anak ketiga dari empat bersaudara. Ia menikah dengan Desy yang berasal dari Kupang pada 1994 saat masih berpangkat prajurit satu. Dari pernikahannya, Fernando dikaruniai dua anak perempuan dan satu laki-laki.
Anak pertamanya sudah kuliah di Universitas Widyagama. “Yang laki-laki masih SMP, mudah-mudahan mau jadi tentara,” harap Fernando.
Fernando pun mengisahkan pengalamannya hingga menjadi tentara. Saat itu sekolahnya, SMEAN 1 Dili, kedatangan tim dari Korem yang melakukan sosialisasi penerimaan prajurit TNI. Namun saat itu umumnya orang Timtim antipati kepada tentara, sehingga menimbulkan kegalauan di hatinya.
“Saya sempat bingung karena nanti dikira anti orang Timor, tapi kami diberi pengertian bahwa tentara itu justru untuk membela Timor sendiri,” urainya.
Akhirnya sekitar 100-an pemuda yang campuran dari Timtim dan Ambon, mengikuti seleksi. Di tahap akhir terpilih 60 orang yang berhak mengikuti pendidikan dasar kemiliteran. Dari 60 orang ini, sebanyak tujuh orang kemudian masuk Kostrad termasuk Fernando.
Mereka adalah Amrozio Dos Carnos (sosoknya tinggi dan sekarang di Yonkes), Dominggus Pereira (di Jambi), Abilio Maya, Ignatio, Armindo, Ventura Pinto, dan Fernando sendiri yang saat ini ditempatkan di Denma Divif II Kostrad.
Fernando mengisahkan pengalaman lucunya saat pertama kali menginjak kaki di Pulau Jawa, khususnya Malang. Sebagai orang Timor, yang ada di pikirannya dan teman-temannya, Jawa itu adalah kota yang mewah dan penuh bangunan. Tidak seperti kampungnya di Maliana yang masih desa.
“Tapi begitu masuk ke Batalion, saya lihat kok banyak gunung, banyak hutan, saya bingung, katanya Jawa itu kota,” tutur Fernando tertawa.
Fernando memang tidak lagi bertugas di satuan operasional. Sebuah kecelakaan menimpanya saat melaksanakan tugas operasi militer bersama Yonif Linud 502 di Aceh Utara tahun 2003. Hujan deras yang mengguyur saat itu, tanpa disadarinya membuat permukaan tanah menjadi labil.
Ia bersama pasukan saat itu tengah berada di hutan. Tanpa terasa, kakinya menginjak permukaan tanah yang lembek dan membuatnya terpeleset hingga terguling. Saat terperosok itulah sebuah ranting menusuk mata kirinya.
Fernando segera dievakuasi hingga dirawat di RSPAD Gatot Subroto selama tiga bulan. Kecelakaan itu membuat mata kirinya tidak bisa lagi berfungsi secara normal.
Terakhir kali Fernando bertemu dengan bekas komandannya ini adalah saat Fadhilah menjadi ajudan Pangkostrad Letjen TNI Erwin Sudjono tahun 2006. Saat itu Pangkostrad mengadakan kunjungan kerja ke Divif II. Â
“Pertama kali lihat Pak Fadhilah di televisi, saya senang sekali. Saya sampai teriak bilang ke istri, Ma, itu komandan saya,” ungkap Fernando.
“Kesan saya sangat mendalam dengan beliau terutama soal sepeda, tidur bersama Danton di tenda yang sama. Itu kebanggaaan saya pernah jadi anggota komandan,” ujar Fernando lagi kepada Mayjen Fadhilah.
Benar kata pepatah: true friendship is only bound by the heart (persahabatan sejati hanya terikat oleh hati), yang tentu terbangun dari kebersamaan yang pernah dialami.
Cakra!!!
Teks: beny adrian